Tuesday, July 10, 2012

Homo sapiens coquereus

Kalau raw food kita sederhanakan menjadi "makanan mentah" atau makanan yang nggak melewati proses pemanasan, ujung-ujungnya bisa muncul pertanyaan "kenapa kita memasak?". Maksudnya, kenapa sih kita, manusia ini repot-repot memasak makanan kita? Nggak cuma sekadar ambil, cuci, campur, makan?

Jawabannya.. ribet juga ternyata. 

Professor Richard Wrangham dari Museum of Comparative Zoology, Harvard Uni, bilang kalau memasak adalah salah satu karakteristik manusia yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya. Emang sih, rasanya belum pernah liat ada marmot bikin nasi goreng, atau kura-kura bikin pancake..

Terus kenapa manusia memasak? Kalau kita lihat secara anatomi (hayo siapa yang dulu di SMP/ SMA pernah ngebedah kodok?), kita bisa perhatikan kalau struktur gigi, rahang, dan otot rahang manusia umumnya kecil dan lemah. Okelah ada beberapa orang yang otot rahangnya rada gede (Arnold Schwarzeneger misalnya), tetep aja relatif kecil dibandingkan dengan gorila, simpanse atau buaya. Rahang manusia nggak cukup kuat untuk merobek batang bambu seperti panda, atau memecah biji kenari seperti tupai. Begitu pula dengan lambung dan usus manusia. Relatif tipis dan lemah. Beda sama babat sapi..

Apa akibatnya? Akibatnya, manusia yang desain anatominya seperti ini perlu asupan energi yang mudah diproses. Bisa berupa biji-bijian kecil, kacang-kacangan, dan tumbuhan berdaun lembut (iyah, saya lagi ngomongin spesies sayah: manusia sunda pemakan daun:). Ini bisa dimakan langsung tanpa diapa-apain. Dicocol sambel lebih nikmat sih.. Repotnya, biji, kacang dan daun tidak dengan cepat memenuhi kebutuhan energi manusia. Maka dari itu perlulah sumber energi lain, misalnya tumbuhan dengan karbohidrat tinggi. Singkong dan kentang misalnya. 

Karbohidrat (yang juga bisa didapat dari biji-bijian/ serealia) umumnya dikemas oleh Tuhan dalam bentuk rantai panjang dan ribet bernama polisakarida. Apakah manusia bisa memanfaatkan polisakarida (pati) ini? Bisa aja, tapi nggak efektif. Ongkos energi untuk mengurai pati menjadi gula, lalu gula menjadi energi lagi bisa nggak nyucuk. Coba aja kunyah beras yang belum dimasak. 

Terus gimana dong? Disini manusia memasukkan sumber energi lain.. panas dari api! Dengan adanya panas (dan air), polisakarida akan tergelatinisasi dan putus-putus sehingga lebih mudah dicerna (dirubah jadi energi). Pun demikian dengan protein hewani. Protein yang berupa rantai panjang dan ribet akan terputus (terdenaturasi) sehingga lebih mudah dicerna. Daging hewan buruan akan semakin empuk dan mudah diproses oleh rahang dan saluran cerna manusia nan lemah ini. Bagaimana dengan protein marina? Ikan dan sumber makanan laut umumnya sudah empuk dan proteinnya lebih sederhana, sehingga sudah mudah dicerna. Mungkin ini sebabnya beberapa bangsa di dunia makan ikan (laut) mentah-mentah.

Makanan laut (khususnya ikan) sering kali juga diproses dengan asam, khususnya berupa air jeruk lemon/ jeruk nipis. Kenapa eh, kenapa? bukannya tanpa asam pun makanan laut sudah mudah dicerna? Jawabannya sama aja.. dengan adanya asam, protein ikan akan terdenaturasi (ditandai dengan warnanya berubah) sehingga lebih mudah lagi dicerna. Asam juga punya fungsi lain. Dengan turunnya pH (makin asam), kemungkinan bakteri untuk hidup juga menurun. sehingga kontaminasi bisa dihindari. Hubungan "magical" lain antara asam dan ikan adalah.. menghilangkan bau. Bau ikan datang dari senyawa yang jenismya amine (amine tjendrakasih? bukaaann.. dasar jadul!). Volatile amine adalah senyawa hsil bongkaran protein yang mudah terbang.. sehingga mudah hinggap di hidung. Asam bereaksi dengan volatile amine ini dan berubah menjadi garam amonium yang susah terbang. Bau pun hilang..  

Dari sini kelihatan bahwa kebutuhan memasak makanan atau tidak, sangat dipengaruhi oleh kebutuhan nutrisi. Sebagai hominid (keluarga "kera besar") manusia punya kebutuhan protein yang lumayan tinggi. Buat apa? Salah satunya adalah untuk.. berpikir. Berpikir memungkinkan manusia mengembangkan budaya dan menjadikan manusia dari sekadar brutal hominid menjadi "Homo sapiens" (hominid yang bijaksana, wise man). Dan manusia bijaksana ini juga ternyata membentuk (atau dibentuk) dari kemampuan mengendalikan api yang kemudian digunakan untuk memasak. Apakah kalau tidak memasak manusia kembali ke jaman Homo erectus? Nggak juga. manusia bijaksana selalu menggunakan energinya dengan efisien. Makanan dimasak kalau memang perlu dimasak. Kalau nggak perlu.. ya nggak usah. Apalagi kalau rasanya juga udah enak :)

Maka Homo sapiens kemudian berkembang menjadi Homo sapiens coquereus (wise man cooking). Istilah latin yang terakhir ini sih bikinan saya, nggak ada di buku.. hehehe..  

(gambar dari: http://cache.io9.com/assets/images/8/2011/08/xlarge_evolutioncooktop.jpg)