Wednesday, March 23, 2005

Bandoengsche Melk Centrale




Priok, Maret 1903:

Kapal Perancis La Seyne mendarat di pelabuhan Priok. Diantara penumpangnya, 20 orang Boers (keturunan Belanda dari Afrika Selatan) yang kelelahan menginjakkan kakinya di Batavia.

Netherland, 1935:

Sudah sepuluh tahun ini di koran banyak iklan yang mengajak orang untuk datang dan bermukim di kota yang akan dikembangkan jadi Ibu Kota Baru di Hindia Belanda. Sebuah kota yang bisa ditempuh dalam waktu 2.5 jam naik kereta dari Batavia. Jalur ini dilayani 4 jadwal kereta SS tercepat di Hindia Belanda: The Vlugge Vier. Berangkat dari Batavia jam 06.45, 10.02, 13.32 dan 16.00.

Sebuah kota bernama Bandoeng.

Soal makanan, jangan khawatir. Selain makanan setempat, makanan Belanda yang berbasis susu juga tersedia cukup. Salah satu pemasok bahan olahan susu ternama di Bandung adalah Bandoengsche Melk Centrale. Tempat ini adalah pusat pengolahan susu yang dipasok dari 22 peternakan di Pangalengan dan Lembang yang per harinya bisa
memproduksi 13,000 liter susu! BMC didirikan oleh Louis Hirschland dan Van Zijl, juragan peternakan sapi yang jago bisnis. Mereka adalah orang Boers. Tak jelas apakah mereka adalah keturunan atau justru salah seorang Boers yang turun di Batavia dengan kapal La Seyne 30 tahun lalu..

Bandung, Maret 2005:

Laper! Dari pagi belum sarapan.. Saya duduk di salah satu bangku di sudut BMC. Bangunan tua yang masih terawat sangat baik, setelah renovasinya di tahun 1999. Berbeda sekali dengan Ragussa, tempat makan djadoel di Jakarta yang tampak agak lusuh..

Beberapa foto hasil repro terpajang di dinding. Saya mengenali salah satunya sebagai pojokan Bragaweg yang berujung di Grootepostweg (pojokan Braga-Asia Afrika). Cantik sekali.

Di meja lain, pesanan mulai diantar. Sup buntut goreng dalam ukuran besar. Buntut sapinya cukup banyak dan digoreng kecoklatan dengan baik. Kuahnya agak keruh dengan aroma bumbu yang cukup tajam. Sayang, saya hanya jadi penikmat pasif.

Tak seberapa lama, nasi liwet melintas. Nasi liwet ala sunda dalam wadah panci kecil (asli, kecil) dengan segala aksesorinya dalam nampan terpisah. Menyusul di belakangnya, pesanan ketiga, nasi timbel kumplit. Timbelnya berukuran cukup besar, tapi tampaknya didampingi lauk yang standar saja. Lagi-lagi, saya menjadi penikmat
pasif

Ahh.. sarapan saya datang. Segelas yoghurt strawberry, secangkir kopi dan sebuah crepe berisi pisang dan keju.

Yoghurt bikinan BMC belum mampu menandingi yoghurt bikinan jawara Jalansutra, Meneer Marchell van Buitenzorg. Kurang halus dan kurang kental. Yoghurt BMC disajikan dengan pecahan es batu sehingga jadi semakin encer. Mungkin untuk mengakomodasi lidah yang nggak terlalu suka asam. Sirup strawberry-nya diguyurkan begitu saja diatas yoghurt dan es. Penampilannya jadi lucu sih, yoghurt putih dengan semburat
goresan sirup merah di sana-sini. Menarik.

Kopinya nggak penting untuk dibahas deh. Bener. Apalagi sebelum ke BMC saya sempat mampir ke Aroma di Banceuy.

Crepesnya besaar. Supaya muat di atas piring, crepes ini harus dilipat 3 kali. Buat saya ini kok lebih enak daripada crepes yang dijual di mall-mall itu ya? Bagian pinggirnya agak renyah dan ditengahnya moist terkena pisang dan parutan keju. Pas dapet pisangnya manis banget dan sangat aromatik. Walhasil gurihnya kulit crepes dan keju dilapis dengan baik oleh manis dan harumnya pisang.

Overall, makanan di BMC memang tidak terlalu istimewa. Tapi buat saya yang suka dengan ke-djadoel-an bangunan dan cerita di baliknya, sarapan di BMC jauh lebih berkesan daripada malam minggu bersusah-susah mendaki Dago untuk ngafe.

Apalagi selesai sarapan telat (brunch) di BMC, bisa nerus ke warung Sawios yang nggak seberapa jauhnya dari situ buat makan siang..

No comments: