Tiba-tiba.. *ting*.. ingatan terlontar ke jaman kecil dulu. Ke sarapan pagi dan bekal yang sering dibuatkan Ibunda.. Roti tawar yang diolesi mentega (margarine sih sebetulnya) dan ditaburi gula pasir!
Who on earth invented this stuff??
Saya nyari kesana-kemari untuk menemukan jawabannya. Ternyata nggak gampang lho menjawab pertanyaan "siapa pencipta Romela"? Romela adalah Roti, pake Mentega dan Gula.. he..he.. ngarang!
Penelusuran pada jenis-jenis roti membawa saya pada penjelasan bahwa roti memang benar-benar bukan barang baru. Nabi Musa sudah makan roti.. Pedagang arab dan india yang masuk ke Nusantara jauh sebelum belanda juga sudah bawa bekal roti. Nenek moyang kita yang kata buku IPS kurikulum 1986, berasal dari cina, juga sudah tau cara bikin roti. Bakpao dan Cakwe kan sejenis roti juga ya? (yang satu dikukus, yang satunya digoreng).
So who on earth invented Romela??
Mungkin anda berpikir, for whatever reason, pasti biar bagaimanapun makanan ini punya pengaruh belanda yang kuat.. saya juga berpikir begitu awalnya. Tapi setelah dicari-cari.. kok nggak ada tuh sandwich dari belanda yang isinya mentega sama gula doang? Yang disebut classic dutch sandwich adalah roti tawar yang diberi coklat.
Menuju ke eropa yang lebih luas, satu-satunya "resep" yang mendekati Romela adalah Victorian Sandwich. Ini seperti sandwich sponge cake (a.k.a bolu) yang diolesi sweet vanilla-flavoured butter cream (jadi inget roti warung yang isinya krim gula ga sih?). Tapi ini bukan Romela!
Historically, di Inggris juga dikenal toast yang diberi campuran pasta tepung gula dan bubuk kayu manis. Ini paling deket sama Romela.. Tapi juga bukan Romela..
Jadi siapa dong yang bikin pertama kali?
Fast foward to the future, dan balik ke Indonesia deh..
Tahun 70-an, ada iklan di TVRI (namanya Mana Suka Siaran Niaga, sebuah nama yang tepat.. Mana ada sih yang suka siaran niaga?)
Salah satu iklannya adalah iklan Blue Band. Bintang iklannya Donny Damara (yap, THE Donny Damara), pake baju garis-garis. Mungkin iklan inilah yang membantu popularitas makan roti pake mentega dan gula di Indonesia..
Romela, menurut saya, kemudian mencapai masa kejayaannya di pertengahan sampai akhir tahun 1980-an. Nggak tahu deh kenapa ibu-ibu dulu suka banget masukin roti pake mentega dan gula ini ke lunch box anak-anaknya. Padahal di sekolah siang nanti, rotinya udah kering dan nggak enak lagi. Ujung-ujungnya si roti teh dicuilin terus di lemparin ke kolam ikan yang ada di samping sekolah. Sementara si anak malah jajan chiki yang waktu itu harganya 150 perak dan berhadiah sticker. Atau makan es mambo rasa kacang ijo sambil ngadu gambar potong keluaran percetakan Gunung Kelud..
Btw, masih belum kejawab ya? Siapa pencipta Romela?
Well, siapapun dia.. saya cuma mau ngucapin makasih for the memory it brings. The good and the bads. Karena Romela, saya sering diomelin Ibunda.. Gara-garanya cara saya bikin Romela adalah sbb:
Roti diolesin mentega, ditaruh dipiring terus ditaburin gula sesendok makan. Rotinya terus saya goyang-goyang untuk meratakan gulanya. Excess gula yang berjatuhan dari roti saya tampung kembali ke dalam toples wadah gula. Walhasil, ketika Ibunda bikin kopi.. di permukaan kopi terlihat lapisan minyak mengambang.. Lha wong gulanya udah kena mentega..
Eh, haree genee masih ada yang bikin Romela ga sih?
Karena setelah dicari-cari, ternyata bangsa lain nggak ada yang bikin Romela, marilah kita klaim menu ini sebagai "Sandwich Khas Indonesia".. Merdeka!!
Wednesday, June 8, 2005
Monday, June 6, 2005
Ayam Goreng Yu Yem - by Jeng Nganten (a.k.a MaYa - Cinere)
Ini adalah postingan Jeng Nganten (a.k.a MaYa Uduk) yang buagus banget deh.. jarang-jarang di milis nemu posting kayak gini.. in any milis at all. Makasih Jeng, diijinin buat bikin copy-nya
Yu Yem adalah seorang penjual ayam goreng keliling. Saya telah mengenalnya selama 6 tahun terakhir ini, sepanjang usia pernikahan saya, karena Yu Yem adalah pedagang ayam goreng langganan keluarga mertua. Yu Yem sebenarnya belum terlalu tua,belum 50th, hanya mungkin karena dia berdagang keliling, tidak pernah pakai payung, dan selalu nyeker (tidak memakai alas kaki), maka muka dan badannya coklat gelap dan keriputnya banyak. Menurut ahli kecantikan, hal ini akibat terpapar sengatan matahari terus menerus tanpa perlindungan baik payung maupun sunblock SPF100 (duh, bahasanya kok sudah kayak dokter kulit :p). Satu hal yang awalnya menurut saya lucu, Yu Yem ini selalu membawa sandal, tapi tidak pernah dipakai. Sandalnya selalu dibungkus plastik dan dimasukkan di susunan terbawah di dalam tenggok tempat dagangannya (tenggok itu tempat seperti bakul, yang terbuat dari anyaman bambu, yang biasanya digendong di belakang badan). Barulah jika dagangannya habis sandal itu dipakainya untuk jalan kaki pulang ke rumah.
Pernah saya bertanya, kenapa?
Jawabnya: "Kulo mboten kulino Jeng Nganten, mboten saged mlampah cepet menawi ngagem sandal. Nek kulo sadeyan lak kedah cepet mlampahipun, mangkeh poro langganan mindak kedangon anggeripun ngentosi, lha nek pas wangsul kulo alon-alon mboten punopo-punopo, mboten keseso"
Terjemahan bebasnya adalah dia tidak terbiasa memakai sandal, kalau memakai sandal jalannya akan lambat. Kalau jualan dia harus jalan cepet biar langganannya tidak kelamaan menunggu. Kalau pulang kan bisa santai, tidak terburu-buru. What a philosophy.
Dia selalu memanggil saya dengan Jeng Nganten, sebuah panggilan yang membuat saya bingung. Saya kan bukan pengantin baru lagi, dan dia tidak datang di acara pernikahan saya, lha kok bisa ya memanggil saya dengan Jeng Nganten? Saya menduga istilah ini adalah sama dengan istilah pada nama makanan "salad/selada penganten" atau rujak penganten (?) Sebenernya sudah lama curious, tapi kok tidak pernah berusaha mencari jawabnya, dasar pemalas. Istilah panggilan "nganten", biasanya juga ada "Den Nganten", juga biasa dipakai oleh orang-orang tua di daerah nenek saya di Kudus – Demak. Ada yang bisa bantu tentang sejarahnya?
Ayam goreng Yu Yem ini persis sama plek dengan gaya ayam goreng Ny. Suharti / Mbok Berek. Di Jakarta ayam goreng jenis ini ngetop dengan nama "Ayam Kremes". Ukuran ayam kampungnya sama dengan ayam Suharti, tapi ayam Yu Yem dijual dalam besek, bukan kardus, lengkap dengan sambel khas Jogja dan lalapan. Ayam jenis ini menurut lidah saya asiiiinnn sekali, sebuah pakem yang "nyeleneh" karena ayam jenis ini lahir di Jogja, dimana masakannya dominan manis. Geplak, Gudeg semua manis (cuma inget 2 euy, apalagi ya?), makanya jadi aneh kalau ayam gorengnya kok asiiin.
Di masa awal saya mengenalnya, ayam dijual Rp. 25.000/ekor, sekarang dijual Rp. 30.000/ekor. Dalam hitung-hitungan saya, 1 ekor untungnya paling Rp. 3.000, tanpa menghitung tenaga karena dia memasak dan menjualnya sendiri (hehe… cost analist nih ceritanya). Dalam sehari kadang dia membawa 10 ekor atau paling ramai 20 ekor, apa cucuk?
Waktu saya tanya, dia berfilsafat lagi (don't worry kali ini langsung saya translate :p) : Jeng nganten, saya adalah orang yang ditakdirkan lahir sebagai penjual ayam goreng (dia menyebut dirinya penjual, bukan pedagang), cuma ini kebisaan saya. Keuntungan bukan jadi tujuan utama saya, yang penting saya bisa bekerja, sesuatu yang diwajibkan oleh Gusti Allah untuk dilakukan manusia, sehingga saya dan keluarga bisa "nunut urip".
Mak Deg! Dadaku mendengar bahasanya. Dia berbicara sambil menggelosor di lantai marmer teras rumah mertua yang adem (rumah mertua saya lho, bukan hotel yang namanya "rumah mertua" yang kondang di JS itu). Waduh, berat juga bahasanya, bahasa sufi yang keluar dari mulut seorang penjual ayam goreng keliling. Believe me or not, mata saya sampai berkaca-kaca. Saya ingin memeluknya, berterima kasih untuk sebuah pelajaran hidup yang diberikannya untuk saya. Tapi saya urung memeluknya, takut dia bingung dan takut disangka gila olehnya. Dalam kehidupan ini setiap orang adalah guru di setiap perjalanan hidup kita (hayyyyaaaahhh, sok niru-niru Pak BW!).
Yu Yem tinggal di daerah sekitar Prambanan. Waktu saya dolan ke rumahnya secara "incognito" saya menjumpai banyak pengrajin ayam goreng seperti Yu Yem. Sekampung bikin ayam goreng semua. Mereka menjualnya ke pasar-pasar, pasar Bringharjo, pasar Gowok, pasar Patangpuluhan dll. Pokoknya kalau ada penjual ayam goreng jenis ini di pasar di jogja, bisa dipastikan mereka dari desa di daerah
Prambanan ini. Mengapa mereka saya sebut sebagai pengrajin ayam goreng? Karena ternyata kita bisa "ndandakke" ayam goreng kesana.
Ayam mentah kita bawa sendiri, mereka yang memasakkan sampai mateng dan siap makan. Kalau "ndandakke " ayam ongkosnya Rp. 10.000/ekor sudah termasuk kremesnya. Wah dia heboh waktu saya mampir, sampai saya dicarikan soft drink ke warung yang cukup jauh, karena dibenaknya orang kaya itu minumnya soft drink. Lucu ya dia, lebih lucu lagi karena saya dikatagorikan kaya oleh dia.
Rumahnya sangat sederhana, lantainya semen, Dapurnya mengingatkan saya pada dapur di rumah nenek waktu saya masih balita, berlantai tanah dengan tungku dari batubata. Ternyata dia menggunakan kayu bakar untuk memasak ayam sehingga "langesnya" menempel dimana-mana.
Dia bercerita bahwa dia pernah diajak berjualan ke Jakarta, tapi menurut dia daya beli masyarakat di daerah dia berjualan ternyata tidak sebagus yang disangkanya. Masih lebih bagus disini, begitu katanya. Yu Yem tidak tahu bahwa rumah dan mobil para langganannya disini mungkin dibeli dengan cara mengangsur. Makan saja kalau bisa kredit, pakai kartu yang namanya Credit Card, sesuatu yang dia mungkin belum pernah lihat. Jadi jatuh-jatuhnya daya belinya ya sama dengan langganan Yu Yem di Jogja sana. Karena kurang ramai, Yu Yem kasihan sama yang ngajak, sehingga dia memutuskan pulang, jualan keliling lagi seperti sekarang.
"Jeng nganten, inilah takdir saya, berjualan ayam goreng keliling kampung di Jogja", begitu dia menegaskan. Artinya dia menolak ajakan saya pindah ke Cinere. Namun dia memberi saya "sasmita", sesuatu yang tidak bisa dihargai dengan harta benda.
Salam,
MaYa - Cinere
Yu Yem adalah seorang penjual ayam goreng keliling. Saya telah mengenalnya selama 6 tahun terakhir ini, sepanjang usia pernikahan saya, karena Yu Yem adalah pedagang ayam goreng langganan keluarga mertua. Yu Yem sebenarnya belum terlalu tua,belum 50th, hanya mungkin karena dia berdagang keliling, tidak pernah pakai payung, dan selalu nyeker (tidak memakai alas kaki), maka muka dan badannya coklat gelap dan keriputnya banyak. Menurut ahli kecantikan, hal ini akibat terpapar sengatan matahari terus menerus tanpa perlindungan baik payung maupun sunblock SPF100 (duh, bahasanya kok sudah kayak dokter kulit :p). Satu hal yang awalnya menurut saya lucu, Yu Yem ini selalu membawa sandal, tapi tidak pernah dipakai. Sandalnya selalu dibungkus plastik dan dimasukkan di susunan terbawah di dalam tenggok tempat dagangannya (tenggok itu tempat seperti bakul, yang terbuat dari anyaman bambu, yang biasanya digendong di belakang badan). Barulah jika dagangannya habis sandal itu dipakainya untuk jalan kaki pulang ke rumah.
Pernah saya bertanya, kenapa?
Jawabnya: "Kulo mboten kulino Jeng Nganten, mboten saged mlampah cepet menawi ngagem sandal. Nek kulo sadeyan lak kedah cepet mlampahipun, mangkeh poro langganan mindak kedangon anggeripun ngentosi, lha nek pas wangsul kulo alon-alon mboten punopo-punopo, mboten keseso"
Terjemahan bebasnya adalah dia tidak terbiasa memakai sandal, kalau memakai sandal jalannya akan lambat. Kalau jualan dia harus jalan cepet biar langganannya tidak kelamaan menunggu. Kalau pulang kan bisa santai, tidak terburu-buru. What a philosophy.
Dia selalu memanggil saya dengan Jeng Nganten, sebuah panggilan yang membuat saya bingung. Saya kan bukan pengantin baru lagi, dan dia tidak datang di acara pernikahan saya, lha kok bisa ya memanggil saya dengan Jeng Nganten? Saya menduga istilah ini adalah sama dengan istilah pada nama makanan "salad/selada penganten" atau rujak penganten (?) Sebenernya sudah lama curious, tapi kok tidak pernah berusaha mencari jawabnya, dasar pemalas. Istilah panggilan "nganten", biasanya juga ada "Den Nganten", juga biasa dipakai oleh orang-orang tua di daerah nenek saya di Kudus – Demak. Ada yang bisa bantu tentang sejarahnya?
Ayam goreng Yu Yem ini persis sama plek dengan gaya ayam goreng Ny. Suharti / Mbok Berek. Di Jakarta ayam goreng jenis ini ngetop dengan nama "Ayam Kremes". Ukuran ayam kampungnya sama dengan ayam Suharti, tapi ayam Yu Yem dijual dalam besek, bukan kardus, lengkap dengan sambel khas Jogja dan lalapan. Ayam jenis ini menurut lidah saya asiiiinnn sekali, sebuah pakem yang "nyeleneh" karena ayam jenis ini lahir di Jogja, dimana masakannya dominan manis. Geplak, Gudeg semua manis (cuma inget 2 euy, apalagi ya?), makanya jadi aneh kalau ayam gorengnya kok asiiin.
Di masa awal saya mengenalnya, ayam dijual Rp. 25.000/ekor, sekarang dijual Rp. 30.000/ekor. Dalam hitung-hitungan saya, 1 ekor untungnya paling Rp. 3.000, tanpa menghitung tenaga karena dia memasak dan menjualnya sendiri (hehe… cost analist nih ceritanya). Dalam sehari kadang dia membawa 10 ekor atau paling ramai 20 ekor, apa cucuk?
Waktu saya tanya, dia berfilsafat lagi (don't worry kali ini langsung saya translate :p) : Jeng nganten, saya adalah orang yang ditakdirkan lahir sebagai penjual ayam goreng (dia menyebut dirinya penjual, bukan pedagang), cuma ini kebisaan saya. Keuntungan bukan jadi tujuan utama saya, yang penting saya bisa bekerja, sesuatu yang diwajibkan oleh Gusti Allah untuk dilakukan manusia, sehingga saya dan keluarga bisa "nunut urip".
Mak Deg! Dadaku mendengar bahasanya. Dia berbicara sambil menggelosor di lantai marmer teras rumah mertua yang adem (rumah mertua saya lho, bukan hotel yang namanya "rumah mertua" yang kondang di JS itu). Waduh, berat juga bahasanya, bahasa sufi yang keluar dari mulut seorang penjual ayam goreng keliling. Believe me or not, mata saya sampai berkaca-kaca. Saya ingin memeluknya, berterima kasih untuk sebuah pelajaran hidup yang diberikannya untuk saya. Tapi saya urung memeluknya, takut dia bingung dan takut disangka gila olehnya. Dalam kehidupan ini setiap orang adalah guru di setiap perjalanan hidup kita (hayyyyaaaahhh, sok niru-niru Pak BW!).
Yu Yem tinggal di daerah sekitar Prambanan. Waktu saya dolan ke rumahnya secara "incognito" saya menjumpai banyak pengrajin ayam goreng seperti Yu Yem. Sekampung bikin ayam goreng semua. Mereka menjualnya ke pasar-pasar, pasar Bringharjo, pasar Gowok, pasar Patangpuluhan dll. Pokoknya kalau ada penjual ayam goreng jenis ini di pasar di jogja, bisa dipastikan mereka dari desa di daerah
Prambanan ini. Mengapa mereka saya sebut sebagai pengrajin ayam goreng? Karena ternyata kita bisa "ndandakke" ayam goreng kesana.
Ayam mentah kita bawa sendiri, mereka yang memasakkan sampai mateng dan siap makan. Kalau "ndandakke " ayam ongkosnya Rp. 10.000/ekor sudah termasuk kremesnya. Wah dia heboh waktu saya mampir, sampai saya dicarikan soft drink ke warung yang cukup jauh, karena dibenaknya orang kaya itu minumnya soft drink. Lucu ya dia, lebih lucu lagi karena saya dikatagorikan kaya oleh dia.
Rumahnya sangat sederhana, lantainya semen, Dapurnya mengingatkan saya pada dapur di rumah nenek waktu saya masih balita, berlantai tanah dengan tungku dari batubata. Ternyata dia menggunakan kayu bakar untuk memasak ayam sehingga "langesnya" menempel dimana-mana.
Dia bercerita bahwa dia pernah diajak berjualan ke Jakarta, tapi menurut dia daya beli masyarakat di daerah dia berjualan ternyata tidak sebagus yang disangkanya. Masih lebih bagus disini, begitu katanya. Yu Yem tidak tahu bahwa rumah dan mobil para langganannya disini mungkin dibeli dengan cara mengangsur. Makan saja kalau bisa kredit, pakai kartu yang namanya Credit Card, sesuatu yang dia mungkin belum pernah lihat. Jadi jatuh-jatuhnya daya belinya ya sama dengan langganan Yu Yem di Jogja sana. Karena kurang ramai, Yu Yem kasihan sama yang ngajak, sehingga dia memutuskan pulang, jualan keliling lagi seperti sekarang.
"Jeng nganten, inilah takdir saya, berjualan ayam goreng keliling kampung di Jogja", begitu dia menegaskan. Artinya dia menolak ajakan saya pindah ke Cinere. Namun dia memberi saya "sasmita", sesuatu yang tidak bisa dihargai dengan harta benda.
Salam,
MaYa - Cinere