Monday, June 6, 2005

Ayam Goreng Yu Yem - by Jeng Nganten (a.k.a MaYa - Cinere)

Ini adalah postingan Jeng Nganten (a.k.a MaYa Uduk) yang buagus banget deh.. jarang-jarang di milis nemu posting kayak gini.. in any milis at all. Makasih Jeng, diijinin buat bikin copy-nya

Yu Yem adalah seorang penjual ayam goreng keliling. Saya telah mengenalnya selama 6 tahun terakhir ini, sepanjang usia pernikahan saya, karena Yu Yem adalah pedagang ayam goreng langganan keluarga mertua. Yu Yem sebenarnya belum terlalu tua,belum 50th, hanya mungkin karena dia berdagang keliling, tidak pernah pakai payung, dan selalu nyeker (tidak memakai alas kaki), maka muka dan badannya coklat gelap dan keriputnya banyak. Menurut ahli kecantikan, hal ini akibat terpapar sengatan matahari terus menerus tanpa perlindungan baik payung maupun sunblock SPF100 (duh, bahasanya kok sudah kayak dokter kulit :p). Satu hal yang awalnya menurut saya lucu, Yu Yem ini selalu membawa sandal, tapi tidak pernah dipakai. Sandalnya selalu dibungkus plastik dan dimasukkan di susunan terbawah di dalam tenggok tempat dagangannya (tenggok itu tempat seperti bakul, yang terbuat dari anyaman bambu, yang biasanya digendong di belakang badan). Barulah jika dagangannya habis sandal itu dipakainya untuk jalan kaki pulang ke rumah.

Pernah saya bertanya, kenapa?
Jawabnya: "Kulo mboten kulino Jeng Nganten, mboten saged mlampah cepet menawi ngagem sandal. Nek kulo sadeyan lak kedah cepet mlampahipun, mangkeh poro langganan mindak kedangon anggeripun ngentosi, lha nek pas wangsul kulo alon-alon mboten punopo-punopo, mboten keseso"

Terjemahan bebasnya adalah dia tidak terbiasa memakai sandal, kalau memakai sandal jalannya akan lambat. Kalau jualan dia harus jalan cepet biar langganannya tidak kelamaan menunggu. Kalau pulang kan bisa santai, tidak terburu-buru. What a philosophy.

Dia selalu memanggil saya dengan Jeng Nganten, sebuah panggilan yang membuat saya bingung. Saya kan bukan pengantin baru lagi, dan dia tidak datang di acara pernikahan saya, lha kok bisa ya memanggil saya dengan Jeng Nganten? Saya menduga istilah ini adalah sama dengan istilah pada nama makanan "salad/selada penganten" atau rujak penganten (?) Sebenernya sudah lama curious, tapi kok tidak pernah berusaha mencari jawabnya, dasar pemalas. Istilah panggilan "nganten", biasanya juga ada "Den Nganten", juga biasa dipakai oleh orang-orang tua di daerah nenek saya di Kudus – Demak. Ada yang bisa bantu tentang sejarahnya?

Ayam goreng Yu Yem ini persis sama plek dengan gaya ayam goreng Ny. Suharti / Mbok Berek. Di Jakarta ayam goreng jenis ini ngetop dengan nama "Ayam Kremes". Ukuran ayam kampungnya sama dengan ayam Suharti, tapi ayam Yu Yem dijual dalam besek, bukan kardus, lengkap dengan sambel khas Jogja dan lalapan. Ayam jenis ini menurut lidah saya asiiiinnn sekali, sebuah pakem yang "nyeleneh" karena ayam jenis ini lahir di Jogja, dimana masakannya dominan manis. Geplak, Gudeg semua manis (cuma inget 2 euy, apalagi ya?), makanya jadi aneh kalau ayam gorengnya kok asiiin.

Di masa awal saya mengenalnya, ayam dijual Rp. 25.000/ekor, sekarang dijual Rp. 30.000/ekor. Dalam hitung-hitungan saya, 1 ekor untungnya paling Rp. 3.000, tanpa menghitung tenaga karena dia memasak dan menjualnya sendiri (hehe… cost analist nih ceritanya). Dalam sehari kadang dia membawa 10 ekor atau paling ramai 20 ekor, apa cucuk?

Waktu saya tanya, dia berfilsafat lagi (don't worry kali ini langsung saya translate :p) : Jeng nganten, saya adalah orang yang ditakdirkan lahir sebagai penjual ayam goreng (dia menyebut dirinya penjual, bukan pedagang), cuma ini kebisaan saya. Keuntungan bukan jadi tujuan utama saya, yang penting saya bisa bekerja, sesuatu yang diwajibkan oleh Gusti Allah untuk dilakukan manusia, sehingga saya dan keluarga bisa "nunut urip".

Mak Deg! Dadaku mendengar bahasanya. Dia berbicara sambil menggelosor di lantai marmer teras rumah mertua yang adem (rumah mertua saya lho, bukan hotel yang namanya "rumah mertua" yang kondang di JS itu). Waduh, berat juga bahasanya, bahasa sufi yang keluar dari mulut seorang penjual ayam goreng keliling. Believe me or not, mata saya sampai berkaca-kaca. Saya ingin memeluknya, berterima kasih untuk sebuah pelajaran hidup yang diberikannya untuk saya. Tapi saya urung memeluknya, takut dia bingung dan takut disangka gila olehnya. Dalam kehidupan ini setiap orang adalah guru di setiap perjalanan hidup kita (hayyyyaaaahhh, sok niru-niru Pak BW!).

Yu Yem tinggal di daerah sekitar Prambanan. Waktu saya dolan ke rumahnya secara "incognito" saya menjumpai banyak pengrajin ayam goreng seperti Yu Yem. Sekampung bikin ayam goreng semua. Mereka menjualnya ke pasar-pasar, pasar Bringharjo, pasar Gowok, pasar Patangpuluhan dll. Pokoknya kalau ada penjual ayam goreng jenis ini di pasar di jogja, bisa dipastikan mereka dari desa di daerah
Prambanan ini. Mengapa mereka saya sebut sebagai pengrajin ayam goreng? Karena ternyata kita bisa "ndandakke" ayam goreng kesana.

Ayam mentah kita bawa sendiri, mereka yang memasakkan sampai mateng dan siap makan. Kalau "ndandakke " ayam ongkosnya Rp. 10.000/ekor sudah termasuk kremesnya. Wah dia heboh waktu saya mampir, sampai saya dicarikan soft drink ke warung yang cukup jauh, karena dibenaknya orang kaya itu minumnya soft drink. Lucu ya dia, lebih lucu lagi karena saya dikatagorikan kaya oleh dia.

Rumahnya sangat sederhana, lantainya semen, Dapurnya mengingatkan saya pada dapur di rumah nenek waktu saya masih balita, berlantai tanah dengan tungku dari batubata. Ternyata dia menggunakan kayu bakar untuk memasak ayam sehingga "langesnya" menempel dimana-mana.

Dia bercerita bahwa dia pernah diajak berjualan ke Jakarta, tapi menurut dia daya beli masyarakat di daerah dia berjualan ternyata tidak sebagus yang disangkanya. Masih lebih bagus disini, begitu katanya. Yu Yem tidak tahu bahwa rumah dan mobil para langganannya disini mungkin dibeli dengan cara mengangsur. Makan saja kalau bisa kredit, pakai kartu yang namanya Credit Card, sesuatu yang dia mungkin belum pernah lihat. Jadi jatuh-jatuhnya daya belinya ya sama dengan langganan Yu Yem di Jogja sana. Karena kurang ramai, Yu Yem kasihan sama yang ngajak, sehingga dia memutuskan pulang, jualan keliling lagi seperti sekarang.

"Jeng nganten, inilah takdir saya, berjualan ayam goreng keliling kampung di Jogja", begitu dia menegaskan. Artinya dia menolak ajakan saya pindah ke Cinere. Namun dia memberi saya "sasmita", sesuatu yang tidak bisa dihargai dengan harta benda.

Salam,
MaYa - Cinere

1 comment:

Anonymous said...

Mata saya juga jadi basah baca artikel ini. Diantara banyaknya manusia yang gila duit, gila keuntungan, masih ada orang yang pasrah dan bijaksana seperti Yu Yem. Kalau saya sempat mampir ke Yogya suatu saat nanti, boleh dong saya diajak ketemu sama Yu Yem, orangnya dan ayam gorengnya yang enak.

Makasih ya, Irvan, atas tulisan-tulisanmu yang bagus dan pandai bikin orang ketawa. Saya lagi apply untuk join milis Jalansutra, tapi sudah hampir seminggu belum diapprove juga. Mungkin mereka ogah ngeprove saya gara-gara saya tulis "Jalan Sutra" dan bukan "Jalansutra". Mudah-mudahan keanggotaan saya dapat diapprove secepatnya.

Jasutalparola