Wednesday, December 7, 2005

Pan Fried Fish 101

Menggoreng ikan adalah pekerjaan yang sulit buat saya. Hah? Ngegoreng ikan? Itu kan gampang banget. Tinggal panasin wajan, kasih minyak, tungguin sampe panas terus cemplungin ikannya sampe warnanya kuning emas, angkat. So you said. But words.. It’s only words!.. and words is all I have.. (lho kok malah Beegees-an?)

Masalah paling gede dari ngegoreng ikan adalah.. lengket! Berkali-kali ikan goreng saya nempel dengan sukses ke penggorengan dan menolak untuk dibalik. Ketika berhasil membaliknya, kulit ikannya tetap nempel di wajan dan tampilan ikan jadi acak-acakan. Hmm.. kok bisa ya? People’ve been frying fish for ages.. dan kayaknya baik-baik ajah.

Pake Teflon, Irvan!! (“o’on banget sih nih orang”, begitu mungkin yang anda pikir). Right! No hard feeling. I get back to that later

Pake tepung! Umm.. I perefer not. If I want to eat batter-coated fried something, then I take Colonel’s chicken instead.

Pengamatan pun dimulai. Targetnya, warung pecel lele di sebrang pabrik! Why? This is an ideal place! Si Mbak sudah nggoreng lele tiap malem sejak jaman MacGyver masih diputer di RCTI.

Api berkobar-kobar dari kompor minyak tanah bertekanan, memanaskan wajan besar berisi segallon minyak yang tampangnya mengingatkan saya pada oli truk. Wah.. ini mah teknik goreng rendem (bahasa indonesianya ”deep frying” apa sih?). Bukan ini yang saya cari. Saya cari teknik pan-fried (menggoreng pake wajan datar dengan sedikit minyak). Saya lebih suka teknik ini karena rasa ikannya nggak berubah banyak. Jadilah investigasi di warung pecel lele dihentikan dan saya mencari data ke tempat lain. Bahan bacaan!

Pencarian akhirnya tiba pada tataran metalurgi, fisika dan kimia. Ya, untuk menggoreng ikan tanpa lengket, pertama saya perlu tau apa yang menyebabkan ikan menjadi lengket. Dan ternyata itu erat sekali dengan jenis-jenis wajan yang saya pakai. Akhirnya saya mesti liat, bahan logam yang membentuk wajan saya. Kalo kata Oracle dari film The Matrix.. ”Nosce te ipsum.. Know thyself!”.

Ada cast iron (besi cetak? BYKS) yang punya kemampuan mendistribusikan panas paling bagus. Tapi besi cenderung berpori dan reaktif terhadap bahan kimia. Artinya, kemungkinan lengketnya juga gede. Pilihan berikutnya adalah baja. Bahan ini distribusi panasnya nggak gitu bagus, dan agak susah juga nyarinya. Next, aluminium. Ringan, distribusi panas bagus tapi justru lengketnya ampun-ampunan! Stainless steel bisa jadi alternatif, kecenderungan lengketnya rada rendah, tapi seperti juga baja, distribusi panasnya nggak gitu bagus.

Kenapa sih ada bahan yang lebih lengket dari yang lain? Hmm.. sekarang kita masuk ke tataran kimia. Ketika anda menggoreng ikan, salah satu reaksi penting yang terjadi adalah ”Maillard reaction”. Reaksi ini terjadi antara protein dengan kandungan ”gula” dalam ikan (yap, daging ikan mengandung ”semacam gula”). Reaksi ini menghasilkan bermacam senyawa, tapi intinya mirip dengan proses pembentukan karamel. Tau sendiri kan, karamel atau gula yang agak hangus cenderung melengket dan mengeras.

Reaksi ini punya banyak manfaat (selain menempelkan ikan ke penggorengan. Huh!). Yang pertama, membentuk aroma. Ratusan senyawa terbentuk dan menghasilkan aroma ikan goreng yang lezat nggak akan terjadi kalau proses browning (yap, Maillard reaction itu tadi) tidak terjadi. Manfaat lain dari browing adalah membentuk warna. Warna coklat keemasan indah yang seharusnya ada di ikan goreng. Manfaat lainnya adalah membentuk tekstur. Lapisan gula yang mengeras di permukaan ikan akan memberikan sensasi renyah, sebelum disusul oleh tekstur lembut daging ikan di bawahnya. Jika anda menggunakan Teflon, reaksi ini tidak berjalan sesempurna wajan logam biasa. Kenapa? Karena lapisan anti lengket pada wajan Teflon itu bukan penghantar panas yang baik, sehingga dengan api kompor yang sama wajan logam biasa pasti lebih panas daripada Teflon. Panas yang rendah artinya temperatur yang rendah artinya reaksi browning yang lebih lambat artinya crusting yang lebih tipis artinya aroma yang lebih lemah artinya rasanya nggak seenak masakan pakai wajan logam! That’s why I reserve Teflon as the final weapon. Used only in emergency

Semua manfaat browning ini tejadi karena terbentuknya bermacam bahan kimia yang sayangnya punya kecenderungan menempel pada logam. Pada logam yang berpori, bahan-bahan ini lebih mudah melengket karena lebih punya ”daya cengkeram” pada permukaannya. Di jalan licin beraspal mulus, mobil anda lebih mudah selip daripada di jalan beton bergerigi bukan?

Eureka! Jawaban atas pertanyaan cara menggoreng ikan akhirnya bisa terjawab (setidaknya.. ada titik cerah). Kita tinggal mencari bahan wajan yang memberikan distribusi dan hantaran panas yang baik (sehingga browning bisa berlangsung sempurna) dan licin tidak berpori (mencegah perlekatan). Jawaban secara kimia-metalurgi ini mengantarkan kita pada.. glazed ceramic coated pan! Di toko, benda ini dikenal sebagai “Wajan Enamel”. Selama tidak ada goresan pada permukaannya, maka wajan ini akan mempunyai hantaran panas yang baik (karena bahannya adalah cast iron), dan tidak lengket (karena dilapisi porcelain yang licin).

Tapi, tunggu dulu!! Seorang guru saya pernah bilang “there’s always two ways of doing things.. the right way, and the easy way”. Wajan cast iron berlapis enamel tampaknya memberi jawaban yang benar. But it’s not neccessarily the easy way. Lapisan enamel-nya bisa saja tergores. Dan goresan sekecil apapun (bahkan pada level mikroskopik) bisa memberikan ruang untuk perlengketan. Waks!!

Untuk memperoleh jawaban yang gampang, tanyakan pada seorang anak kecil. Their idea usually is amazingly simple but works like heaven! Maka saya tanyakan pada sepupu saya yang masih duduk di SD. Bagaimana caranya supaya dua benda nggak saling melengket? Jawabannya sederhana, “ya jangan ditempelin!”.

Huaaaa.. This is brilliant! Bagaimana caranya agar ikan tidak melekat di wajan? Ya jangan ditempelin! Artinya kita harus mencari cara supaya distribusi panas tetap terjadi tanpa harus menempelkan ikan ke dinding wajan secara langsung. Pakai minyak? Well, berat jenis ikan lebih besar daripada minyak, sehingga secara fisika, sang ikan akan tenggelam. Minyak tidak cukup untuk “mengambangkan” ikan di atas wajan.

Seorang teman yang belajar fisika klasik memberikan jawaban.. “gravitasi menyebabkan ikan tenggelam. Kalau kita bisa menghilangkan efek itu, ikannya bisa ngambang”. Caranya? Beri daya dorong ke atas yang setimbang dengan gaya gravitasi ke bawah. Kita hanya perlu daya angkat sampai sepersekian milimeter saja kok!

Jawaban dari masalah ini datang ketika saya membaca tulisan tentang kereta api. Uap air, itulah jawabannya.

Maka cara membuat goreng ikan yang tidak melengket pada wajan biasa adalah sebagai berikut. Panaskan wajan cast iron kosong dengan api yang cukup besar. Ini gunanya untuk memastikan bahwa reaksi browning akan berjalan ekstra cepat. Setelah yakin wajannya panas, guyurkan minyak goreng sampai membentuk genangan rata di permukaan wajan. Tunggu sampai minyak sedikit mengepul dan woooshhh.. masukkan ikannya.

Daging ikan akan terpanaskan secara cepat dan rekasi browning segera dimulai. Pada saat yang sama, uap air akan terbentuk. Uap air ini akan bergerak ke atas, pada saat yang sama mendesak ikan untuk terangkat sejauh beberapa mikrometer dari permukaan

The quest to the perfect pan fried fish membawa saya pada metoda yang sudah dikenal oleh para juru masak sejak ratusan tahun yang lalu. A very hot and clean pan, a good splash of oil.. and you’re good to go.

Dasar.. sok susah!

Monday, September 12, 2005

Goreng-goreng Tahu Pong

Ini adalah pertanyaan dari seorang teman di milis Jalansutra

> kenapa ya
> kalo diangkat dari minyak gorengnya selalu mengkeret alias menciut?
> Saya pakai minyak yg banyak. Panas minyaknya juga cukup. Gorengnya
> juga pas. Hasil warna nya juga pas.... tapi teteup aja begitu
> diangkat dari kuali, peeesssss aja. Menyebalkan. Mungkin diantara
> kalian ada yg tau apa sebab musababnya?


Dan ini jawaban sayah..

Gas, uap air, pori-pori, suhu, waktu, struktur.. (siapa bilang jawabannya bakal gampang? :). Kalo kata saya mah (he..he.. ini bahasanya Cindih cereth).. penyebab tahu menjadi kopong tapi terus mengkeret adalah kombinasi dari semua faktor itu.

Kandungan air dalam tahu cukup tinggi. Coba kita perhatikan apa yang terjadi di dalem tahu ketika digoreng (zoom in, CSI mode: on). Ketika panas dari minyak menembus ke bagian dalam tahu (menurut cookingforengineer.com, pada suhu sekitar 120 - 190 Celcius), kandungan air dalam tahu berubah wujud menjadi uap air yang mendesak ke arah luar. Desakan ini membuat tahu menggendut dan menjadi kopong.

Uap air ini terus meluncur keluar melalui pori-pori pada permukaan tahu, lalu terus menjadi gelembung kecil yang naik ke permukaan minyak, meletup pada interface minyak dengan udara di permukaan gorengan dan pufff... menyebarkan aroma tahu goreng ke seluruh ruangan..

Ketika uap airnya keluar, apa yang terjadi dengan tahu-nya? Permukaan tahu, yang menyentuh wajan atau minyak, adalah bagian yang menerima panas paling tinggi. Karena itu, penguapan air terjadi paling cepat di bagian ini sehingga terjadilah pengeringan (crusting). Masalahnya adalah, apakah crust yang terjadi juga menutup pori-porinya? Tentu tidak!

Kalau pori-pori di permukaan tahu tidak tertutup, maka ketika tahu diangkat dari minyak, udara luar akan masuk menggantikan uap air yang keluar dari dalam tahu. Ini terjadi untuk menyesuaikan tekanan dengan atmosfer (hayyaahh!).

Nah, jika crust yang terbentuk pada permukaan tahu secara struktur tidak mendukung untuk berdiri tegak, maka tentu ketika terjadi kesetimbangan tekanan antara bagian dalam dan luar tahu, sang tahu akan mengempes.. pessss.... So, kempesnya tahu setelah diangkat is very normal from both culinary and physic point of view (sekali lagi.. hayyaahhh!!)

Dari dugaan-dugaan ini, maka untuk membuat tahu yang tengahnya kopong dan tetap berdiri tegak tanpa kempes, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

Pertama, suhunya mesti pas sehingga penguapan di bagian dalam tahu terjadi sempurna, agar tahunya gendut, lalu disusul dengan crusting di bagian luar. Tampaknya kalau dari sini, terlihat bahwa minyak yang tidak terlalu panas justru bagus buat tahu pong.

Berikutnya, crusting di bagian luar harus punya structural integrity yang baik agar mampu mempertahankan bentuknya. Kuncinya, kadar air harus super duper rendah. Tampaknya, tahu ini harus digoreng dalam waktu yang cukup lama supaya bagian luarnya kering sempurna (bukan cuma warnanya bagus, tapi benar-benar kering). Sekali lagi, minyak yang tidak terlalu panas akan memastikan kering sempurna tapi nggak gosong. Mengeringkan bagian luar tahu sebelum digoreng itu dilakukan untuk alasan ini juga..

Next, saat kritis terjadi ketika tahu baru diangkat dari minyak. Saat inilah terjadi penyesuaian tekanan. Agar perubahan tekanan tidak terjadi secara mendadak (yang bisa menyebabkan strukturnya collapse), maka harus dilakukan dekompresi secara perlahan. OK, dekompresi perlahan. Caranya? Jaga agar tetap ada tekanan uap air dari dalam tahu. Caranya? tetap panaskan tahu setelah diangkat dari minyak. Caranya? Ummm... pernah liat tukang gorengan yang punya penyaring minyak tepat di atas wajan? Nah, gitu deh.. tahunya disangkutin di saringan di atas wajan. Excess minyaknya dripping ke wajan kembali, sementara panas dari bawah menjaga uap air dari dalam tahu tetap terjadi dan membuat tahu tetap gendut.

Efektif, efisien.

Wednesday, June 8, 2005

Romela: The Truth is Out There

Tiba-tiba.. *ting*.. ingatan terlontar ke jaman kecil dulu. Ke sarapan pagi dan bekal yang sering dibuatkan Ibunda.. Roti tawar yang diolesi mentega (margarine sih sebetulnya) dan ditaburi gula pasir!

Who on earth invented this stuff??

Saya nyari kesana-kemari untuk menemukan jawabannya. Ternyata nggak gampang lho menjawab pertanyaan "siapa pencipta Romela"? Romela adalah Roti, pake Mentega dan Gula.. he..he.. ngarang!

Penelusuran pada jenis-jenis roti membawa saya pada penjelasan bahwa roti memang benar-benar bukan barang baru. Nabi Musa sudah makan roti.. Pedagang arab dan india yang masuk ke Nusantara jauh sebelum belanda juga sudah bawa bekal roti. Nenek moyang kita yang kata buku IPS kurikulum 1986, berasal dari cina, juga sudah tau cara bikin roti. Bakpao dan Cakwe kan sejenis roti juga ya? (yang satu dikukus, yang satunya digoreng).

So who on earth invented Romela??

Mungkin anda berpikir, for whatever reason, pasti biar bagaimanapun makanan ini punya pengaruh belanda yang kuat.. saya juga berpikir begitu awalnya. Tapi setelah dicari-cari.. kok nggak ada tuh sandwich dari belanda yang isinya mentega sama gula doang? Yang disebut classic dutch sandwich adalah roti tawar yang diberi coklat.

Menuju ke eropa yang lebih luas, satu-satunya "resep" yang mendekati Romela adalah Victorian Sandwich. Ini seperti sandwich sponge cake (a.k.a bolu) yang diolesi sweet vanilla-flavoured butter cream (jadi inget roti warung yang isinya krim gula ga sih?). Tapi ini bukan Romela!

Historically, di Inggris juga dikenal toast yang diberi campuran pasta tepung gula dan bubuk kayu manis. Ini paling deket sama Romela.. Tapi juga bukan Romela..

Jadi siapa dong yang bikin pertama kali?

Fast foward to the future, dan balik ke Indonesia deh..

Tahun 70-an, ada iklan di TVRI (namanya Mana Suka Siaran Niaga, sebuah nama yang tepat.. Mana ada sih yang suka siaran niaga?)

Salah satu iklannya adalah iklan Blue Band. Bintang iklannya Donny Damara (yap, THE Donny Damara), pake baju garis-garis. Mungkin iklan inilah yang membantu popularitas makan roti pake mentega dan gula di Indonesia..

Romela, menurut saya, kemudian mencapai masa kejayaannya di pertengahan sampai akhir tahun 1980-an. Nggak tahu deh kenapa ibu-ibu dulu suka banget masukin roti pake mentega dan gula ini ke lunch box anak-anaknya. Padahal di sekolah siang nanti, rotinya udah kering dan nggak enak lagi. Ujung-ujungnya si roti teh dicuilin terus di lemparin ke kolam ikan yang ada di samping sekolah. Sementara si anak malah jajan chiki yang waktu itu harganya 150 perak dan berhadiah sticker. Atau makan es mambo rasa kacang ijo sambil ngadu gambar potong keluaran percetakan Gunung Kelud..

Btw, masih belum kejawab ya? Siapa pencipta Romela?

Well, siapapun dia.. saya cuma mau ngucapin makasih for the memory it brings. The good and the bads. Karena Romela, saya sering diomelin Ibunda.. Gara-garanya cara saya bikin Romela adalah sbb:

Roti diolesin mentega, ditaruh dipiring terus ditaburin gula sesendok makan. Rotinya terus saya goyang-goyang untuk meratakan gulanya. Excess gula yang berjatuhan dari roti saya tampung kembali ke dalam toples wadah gula. Walhasil, ketika Ibunda bikin kopi.. di permukaan kopi terlihat lapisan minyak mengambang.. Lha wong gulanya udah kena mentega..

Eh, haree genee masih ada yang bikin Romela ga sih?

Karena setelah dicari-cari, ternyata bangsa lain nggak ada yang bikin Romela, marilah kita klaim menu ini sebagai "Sandwich Khas Indonesia".. Merdeka!!

Monday, June 6, 2005

Ayam Goreng Yu Yem - by Jeng Nganten (a.k.a MaYa - Cinere)

Ini adalah postingan Jeng Nganten (a.k.a MaYa Uduk) yang buagus banget deh.. jarang-jarang di milis nemu posting kayak gini.. in any milis at all. Makasih Jeng, diijinin buat bikin copy-nya

Yu Yem adalah seorang penjual ayam goreng keliling. Saya telah mengenalnya selama 6 tahun terakhir ini, sepanjang usia pernikahan saya, karena Yu Yem adalah pedagang ayam goreng langganan keluarga mertua. Yu Yem sebenarnya belum terlalu tua,belum 50th, hanya mungkin karena dia berdagang keliling, tidak pernah pakai payung, dan selalu nyeker (tidak memakai alas kaki), maka muka dan badannya coklat gelap dan keriputnya banyak. Menurut ahli kecantikan, hal ini akibat terpapar sengatan matahari terus menerus tanpa perlindungan baik payung maupun sunblock SPF100 (duh, bahasanya kok sudah kayak dokter kulit :p). Satu hal yang awalnya menurut saya lucu, Yu Yem ini selalu membawa sandal, tapi tidak pernah dipakai. Sandalnya selalu dibungkus plastik dan dimasukkan di susunan terbawah di dalam tenggok tempat dagangannya (tenggok itu tempat seperti bakul, yang terbuat dari anyaman bambu, yang biasanya digendong di belakang badan). Barulah jika dagangannya habis sandal itu dipakainya untuk jalan kaki pulang ke rumah.

Pernah saya bertanya, kenapa?
Jawabnya: "Kulo mboten kulino Jeng Nganten, mboten saged mlampah cepet menawi ngagem sandal. Nek kulo sadeyan lak kedah cepet mlampahipun, mangkeh poro langganan mindak kedangon anggeripun ngentosi, lha nek pas wangsul kulo alon-alon mboten punopo-punopo, mboten keseso"

Terjemahan bebasnya adalah dia tidak terbiasa memakai sandal, kalau memakai sandal jalannya akan lambat. Kalau jualan dia harus jalan cepet biar langganannya tidak kelamaan menunggu. Kalau pulang kan bisa santai, tidak terburu-buru. What a philosophy.

Dia selalu memanggil saya dengan Jeng Nganten, sebuah panggilan yang membuat saya bingung. Saya kan bukan pengantin baru lagi, dan dia tidak datang di acara pernikahan saya, lha kok bisa ya memanggil saya dengan Jeng Nganten? Saya menduga istilah ini adalah sama dengan istilah pada nama makanan "salad/selada penganten" atau rujak penganten (?) Sebenernya sudah lama curious, tapi kok tidak pernah berusaha mencari jawabnya, dasar pemalas. Istilah panggilan "nganten", biasanya juga ada "Den Nganten", juga biasa dipakai oleh orang-orang tua di daerah nenek saya di Kudus – Demak. Ada yang bisa bantu tentang sejarahnya?

Ayam goreng Yu Yem ini persis sama plek dengan gaya ayam goreng Ny. Suharti / Mbok Berek. Di Jakarta ayam goreng jenis ini ngetop dengan nama "Ayam Kremes". Ukuran ayam kampungnya sama dengan ayam Suharti, tapi ayam Yu Yem dijual dalam besek, bukan kardus, lengkap dengan sambel khas Jogja dan lalapan. Ayam jenis ini menurut lidah saya asiiiinnn sekali, sebuah pakem yang "nyeleneh" karena ayam jenis ini lahir di Jogja, dimana masakannya dominan manis. Geplak, Gudeg semua manis (cuma inget 2 euy, apalagi ya?), makanya jadi aneh kalau ayam gorengnya kok asiiin.

Di masa awal saya mengenalnya, ayam dijual Rp. 25.000/ekor, sekarang dijual Rp. 30.000/ekor. Dalam hitung-hitungan saya, 1 ekor untungnya paling Rp. 3.000, tanpa menghitung tenaga karena dia memasak dan menjualnya sendiri (hehe… cost analist nih ceritanya). Dalam sehari kadang dia membawa 10 ekor atau paling ramai 20 ekor, apa cucuk?

Waktu saya tanya, dia berfilsafat lagi (don't worry kali ini langsung saya translate :p) : Jeng nganten, saya adalah orang yang ditakdirkan lahir sebagai penjual ayam goreng (dia menyebut dirinya penjual, bukan pedagang), cuma ini kebisaan saya. Keuntungan bukan jadi tujuan utama saya, yang penting saya bisa bekerja, sesuatu yang diwajibkan oleh Gusti Allah untuk dilakukan manusia, sehingga saya dan keluarga bisa "nunut urip".

Mak Deg! Dadaku mendengar bahasanya. Dia berbicara sambil menggelosor di lantai marmer teras rumah mertua yang adem (rumah mertua saya lho, bukan hotel yang namanya "rumah mertua" yang kondang di JS itu). Waduh, berat juga bahasanya, bahasa sufi yang keluar dari mulut seorang penjual ayam goreng keliling. Believe me or not, mata saya sampai berkaca-kaca. Saya ingin memeluknya, berterima kasih untuk sebuah pelajaran hidup yang diberikannya untuk saya. Tapi saya urung memeluknya, takut dia bingung dan takut disangka gila olehnya. Dalam kehidupan ini setiap orang adalah guru di setiap perjalanan hidup kita (hayyyyaaaahhh, sok niru-niru Pak BW!).

Yu Yem tinggal di daerah sekitar Prambanan. Waktu saya dolan ke rumahnya secara "incognito" saya menjumpai banyak pengrajin ayam goreng seperti Yu Yem. Sekampung bikin ayam goreng semua. Mereka menjualnya ke pasar-pasar, pasar Bringharjo, pasar Gowok, pasar Patangpuluhan dll. Pokoknya kalau ada penjual ayam goreng jenis ini di pasar di jogja, bisa dipastikan mereka dari desa di daerah
Prambanan ini. Mengapa mereka saya sebut sebagai pengrajin ayam goreng? Karena ternyata kita bisa "ndandakke" ayam goreng kesana.

Ayam mentah kita bawa sendiri, mereka yang memasakkan sampai mateng dan siap makan. Kalau "ndandakke " ayam ongkosnya Rp. 10.000/ekor sudah termasuk kremesnya. Wah dia heboh waktu saya mampir, sampai saya dicarikan soft drink ke warung yang cukup jauh, karena dibenaknya orang kaya itu minumnya soft drink. Lucu ya dia, lebih lucu lagi karena saya dikatagorikan kaya oleh dia.

Rumahnya sangat sederhana, lantainya semen, Dapurnya mengingatkan saya pada dapur di rumah nenek waktu saya masih balita, berlantai tanah dengan tungku dari batubata. Ternyata dia menggunakan kayu bakar untuk memasak ayam sehingga "langesnya" menempel dimana-mana.

Dia bercerita bahwa dia pernah diajak berjualan ke Jakarta, tapi menurut dia daya beli masyarakat di daerah dia berjualan ternyata tidak sebagus yang disangkanya. Masih lebih bagus disini, begitu katanya. Yu Yem tidak tahu bahwa rumah dan mobil para langganannya disini mungkin dibeli dengan cara mengangsur. Makan saja kalau bisa kredit, pakai kartu yang namanya Credit Card, sesuatu yang dia mungkin belum pernah lihat. Jadi jatuh-jatuhnya daya belinya ya sama dengan langganan Yu Yem di Jogja sana. Karena kurang ramai, Yu Yem kasihan sama yang ngajak, sehingga dia memutuskan pulang, jualan keliling lagi seperti sekarang.

"Jeng nganten, inilah takdir saya, berjualan ayam goreng keliling kampung di Jogja", begitu dia menegaskan. Artinya dia menolak ajakan saya pindah ke Cinere. Namun dia memberi saya "sasmita", sesuatu yang tidak bisa dihargai dengan harta benda.

Salam,
MaYa - Cinere

Thursday, May 26, 2005

Baso Hampor - Garut



Hari Minggu, sambil nganter si Neng yang udah lama nggak mudik ke Garut, saya mampir ke warung bakso legendaris Hampor - H Mamad.

Ini warung kecil, di tepi jalan menuju Kampung Sampireun yang kondang itu. Kalau anda datang dari Bandung, setelah melewati tugu/ bunderan Intan, anda belok kanan, mentok terus belok kiri (kalo ke kanan ke Cipanas). Di belokan pertama, anda belok kanan (menuju ke arah Kampung Sampireun atau Kawah Kamojang). Kira-kira lima menit kemudian anda akan menemukan warung kecil pada bangunan semipermanen.

Apa istimewanya warung ini? Istimewanya, warung ini sudah buka sejak saya mengenal Garut (mid 1970-an) bahkan jauh lebih lama dari itu (konon sih mid 1960-an udah jualan).

Seinget saya, dari dulu rasa baksonya ya begitu itu.. bakso dengan perpaduan aci dan daging yang seimbang. Baksonya mulus, dengan mie kurus atau gendut (bisa milih), bihun dan sayuran berupa sawi dan toge. Tarikannya mah bakso jawa gituh.. khas banget favorit orang Garut/ Tasik.

Satu hal yang saya amati, kuah baksonya sekarang lebih light. Dulu, saya pernah menghindari makan di sini karena kuah baksonya berminyak sekali. Terlihat jelas layer minyak di atas permukaan kuah. Sekarang, sudah tidak lagi. Minyaknya jauuuh lebih moderate. Dan somehow lebih fresh.

Porsinya masih besar, bahkan buat saya. Ini beda sama tarikan bakso jawa yang biasanya tampil dengan porsi menyebalkan (dikit bangets). Setelah dikucuri cuka, saos dan kecap (semua bikinan lokal Garut), rasa bakso ini naik beberapa point. Freshness dari cuka menyeimbangkan gurihnya kaldu. Hentakan sambel yang dibuat dari cabe rawit yang direbus mengalir silih berganti dengan saos berwarna unnaturally red. Tasty.. yummy..

Ga heran, teman Ibunda asal Garut yang pergi merantau ke sebrang selalu menyempatkan makan di sini saat ia pulang kampung

Monday, May 16, 2005

Kimchi Nabe..Aku padamu!!!

Sabtu kemaren, sore-sore saya "kesasar" ke Furaibo di Setiabudi Building. Lho, kesasar kok spesifik banget? He..he.. soalnya beneran nggak niat ke sana, cuma pengen jalan aja nyari mie yang pake gaya jepang (ngidamnya mah soba yang berkuah pake aroma jahe. Dimana ya bisa dapetnya?).

Tapi kalo nggak, ya makanan jepang berkuah panas, maklum rasanya kok "my body is not delicious" (ga enak badan maksudnya..). As for makanan jepang.. ah, mungkin terpengaruh ajah sama buku "Samurai: Kastel Awan Burung Gereja" yang nggak khatam-khatam saya baca :)

OK, then Furaibo it is. Ya.. tau.. ini restoran terkenalnya sama sayap ayam goreng, sama gorengan yang dalemnya keju itu. Tapi berhubung keukeuh lagi pengen bikin badan enak, maka saya go straight to the soup section of the menu.

Kimchi Nabe! Bentar Oom.. Kimchi bukannya korea punya? Ini salah satu makanan yang saya suka nih.. So it's gotta be good. Kimchi Nabe, pake potongan ikan kakap, jamur enoki dan tahu. Sip, pesen deh! Sama teh jepang anget (bottomless, alias di-refill sampe kembung!).

Tapi karena si abangnya keukeuh bilang kalo spesialisasi Furaibo adalah sayap ayam.. ya deh, saya ikutin apa kata abang Furaibo ajah.. apa sih yang nggak buat abaaang... (hayyah!!)

Nggak lama (asli, nggak lama!) datanglah sepiring sayap ayam goreng dalam keadaan dopf (nggak glossy maksudnya:). Sama sekali nggak ada kilauan minyak khas ayam goreng.. hmm..

Rasanya seruuu, tau ga sih? Bentuknya lucuu, ada bumbu-bumbunya gitu deeh..(review ala ABG mode: on)

Lalu datanglah sang Kimchi Nabe. Datang dalam mangkuk keramik dengan pegangan melengkung ke atas. Tampak kuah merah merona mengepul, merendam potongan ikan kakap, kimchi sawi putih, sepotong tahu besar dan lalu ditutupi oleh gelaran jamur enoki putih cantik yang disisipi sekedarnya dengan irisan bawang daun. Ah.. geulis pisan..

Seruputan pertama.. srupp!! Ahh.. aroma khas tauco masih terasa kuat sekali susul-menyusul dengan pedas, asam dan gurihnya kuah kimchi. Rasa hangat di mulut mengalir perlahan ke tenggorokan dan membuat nyaman jiwa dan raga. Jamur enoki yang sangat generous memberikan tekstur yang menarik ketika dikunyah bersama kimchi sawi putih (do you know that there is more than 160 type of Kimchi?). Ikan kakapnya cukup segar dan memberi hentakan aroma laut yang lembut. AAAhhhh...Kimchi Nabe.. Aku Padamuuu.... :)

Sedikit note tentang teh jepang yang disajikan. Ini tipe teh hitam, bukan teh hijau kayak di restoran jepang lainnya. Tehnya punya aroma yang sangat earthy dan somehow mengingatkan saya sama pu-er (minus bau karungnya:). Warna seduhannya juga coklat kemerahan (very reddish) dengan body yang agak tebal. Kira-kira ini teh apaan ya?

Yang jelas, ketika teh ini disandingkan dengan Kimchi Nabe yang segar, lively dan agak oceanic.. hmm.. they made a good balance!

O,ya.. dressing chicken salad yang dipesan sama Neng Geulis yang nemenin saya juga OK tuh.. cuma sayang, ayamnya kurang blend sama sayurannya..

Monday, May 2, 2005

Gabus Kuah Pucung

OK, pertama saya mau bikin pengakuan. Punten, please, jangan diketawain..

1. Saya belum pernah liat ikan gabus idup. Beneran. Saya belum pernah ketemuan sama ikan gabus yang sedang bercengkrama, berenang-renang kian kemari.. Sampai beberapa bulan lalu, bahkan saya ga tau apakah ikan gabus itu termasuk ikan laut atau ikan sungai (iddiihh sekali bukan?)

2. Saya bahkan belum pernah liat ikan gabus yang udah mati. Maksudnya yang baru mati satu kali (just died) dan masih berwujud ikan gabus segar. Yang pernah saya liat paling berupa ikan asin gabus, sudah dipotongin atau masih rada utuh. Tapi kan warnanya udah coklat gituh..

Yap, that's my confession...


Tadi malam, dalam perjalanan pulang ke rumah dari pabrik, saya "menemukan" sebuah warung nasi. Hayyah, padahal ini warung nasi teh kelewatan dua kali sehari, kok saya nggak ngeh ya? Letaknya di Jl. Lapangan Tembak Cibubur, dekat kelurahan Cibubur, sebrangnya Warung Soto Udin yang "katanya" kondang di wilayah sini..

Istimewanya, warung berspanduk biru ini menjual menu "Gabus Pucung", dan aneka masakan betawi lainnya!!

Di depannya, digelar aneka baskom enamel berisi rupa-rupa masakan mateng dan setengah mateng. Ada ayam siap goreng, opor tempe, semur daging dan kentang, telor asin, telor dadar, bihun goreng, tumis tempe dan beberapa papan pete dan Di salah satu baskom tampak potongan ikan dalam kuah hitam mengkilap berminyak. Eureka!!

"Ini apaan Bang?" kata saya sambil H2C (harap-harap cemas)
"Gabus pucung," kata si Abang berkumis baplang melintang dengan tenang.

Tiada saberapa lama, Si Abang Kumis ini mengantarkan dua piring ke meja saya. Piring pertama berisi sepotong ikan (pilihan saya, badan ke arah buntut), dalam kuah hitam. Piring kedua berisi nasi uduk (dalam porsi XL) bertabur bawang goreng dan bubuk emping, disertai sedikit bihun goreng dan tumis tempe kering.

Nasi uduknya simple but OK. Porsinya bo.. Jalansutra banget deh :)

Sekarang menu utama.. Potongan ikan gabus yang sudah digoreng dan berukuran cukup baik (sekitar 5 inch panjangnya), terendam didalam kuah. Kuahnya hitam mengkilap dengan lapisan minyak kekuningan diatasnya. Beberapa lembar daun salam tampak mendampingi taburan cabe rawit dan bawang merah yang muncul di sana sini.

Kuahnya pedes!! Tapi terasa kalau bite dari pedesnya bukan semata dari cabe. Ada hentakan peppery yang lumayan nendang. Rasa kunyit dan sereh juga susul-menyusul menerjang. Gurihnya kluwek (a.k.a pucung) yang digunakan menjadikan body dari kuahnya terasa mantep, dan sekaligus memberi sentuhan "tangy". Somehow, saya mencium aroma jeruk pecel (limo) pada kuah ini.

Adapun ikan gabusnya.. komentar pertama saya adalah.. "Ooo, kayak ginih ternyata bentuk si ikan gabus teh..". Dagingnya putih dan moist dengan duri yang masih acceptable. Tekstur dagingnya memungkinkan terserapnya kuah pucung sampai ke dalam. Hanya karena ikan ini sudah digoreng sebelum dicemplungkan ke kuah, maka bagian
kulitnya sudah tertutup (sealed) sehingga dagingnya tetap putih.

Tak terasa, nasi uduk ukuran XL sudah nyaris tak bersisa. Waduh, padahal ikan dan kuahnya masih banyak nih. Akhirnya, terpaksa (beneran, terpaksa! kok ga percaya sih?) saya nambah nasinya.

"Setengah ajah" kata saya. Si Abang Kumis Baplang cuma mengangguk.
Lho, kok datengnya dengan ukuran yang sama dengan yang pertama? Ya sudahlah.. (pasrah bahagia mode: on).

Setelah menghabisi nasi, gabus, segelas es teh tawar, dan terkaget-kaget oleh suara sinetron di TV kecil yang dipasang deket dapur warung ("Apa? Melamar perempuan miskin itu? Mama tidak setuju!!!" kata sinetron teh..), akhirnya check out time.

"Nasi uduk satu setengah (padahal mah dua!), gabus, tempe, bihun, es teh tawar. Berapa Bang?" kata saya sambil lagi-lagi H2C..

"Sepuluh rebu,"
kata si Abang.

Alhamdulillah.. good food, good price!

Tenang Bang, I'll be back..

Monday, April 11, 2005

Kebab Asli Bapaknya Ali


Semalam, dalam rangka celebrating myself, saya mampir ke warung tenda yang baru buka beberapa bulan ini di Jalan Margonda (Depok).

Warung kebab bernama "Kebab Abou Ali" jual Kebab Arab, Kebab India, Kebab Turki. Wah, jarang-jarang nih..

Saya disambut oleh seorang bapak berkacamata yang bicara dengan logat sangat "arabic". Dia bahkan masih berbicara dalam bahasa arab pada anak dan istrinya yang berhijab panjang warna hitam khas arabiyah. Wah, kebab arab asli nih!!

Si bapak, yang kemudian saya tahu bahwa dialah Abou Ali (Bapaknya Ali), memberikan daftar menu. Menunya bergambar dengan nama dan tambahan kode huruf. Paket A1, A2, B1 dst.

Melihat saya kebingungan, Abou Ali yang ramah ini langsung menjelaskan:
"Yang arab, ada 3 macham. Kebab kobideh, barg dan chenjeh. Lalu ada juga soultani yang isinya satu kobideh sama satu barg. Ada juga kebab india sama kebab turk"

Bedanya apa?

"Kobideh itu satu daging, fanjang kaya' steak. Kalau barg, itu daging dithumbuk.. Kalau chenjeh, itu daging kambing tafi futus-futus.. Kebab india, daging kita kasi bumbu india. Kalau kebab turki, itu doner kebab" katanya sambil menunjuk panggangan tegak berputar seperti yang biasa kita lihat di.. Doner Kebab.

OK, saya pesan satu kebab soultani yang terdiri satu kebab kobideh dan satu barg. Abou Ali lalu membawa sepiring kebab berisi beberapa potong daging yang sudah dimarinate dan ditusuk dengan lempengan besi tipis panjang.

"Ini barg, ini kobideh. Funya anda" katanya sambil tersenyum.

"Kalau ini, tomat sama chabe.." katanya sambil menunjukkan tomat merah yang dibelah dua, lalu ditusuk dengan lempengan besi.

Tusukan daging dan tomat ini kemudian dipanggang di atas bara api dengan kipasan yang pelaan sekali.

"Sabar.. harus sabaar.. Saya bisa bikin cefat-cefat, tapi tidak enak.. soalnya nanti luar matang, tapi dalam tidak" katanya.

Lima belas menit kemudian kebab saya siap. Kobideh adalah potongan daging tanpa lemak (sapi? kok saya ga tanya ya?) yang dimarinate dalam campuran bawang bombay dengan lebar sekitar 2 inch, tebal hampir 1 inch dan panjang 6 inch. Dagingnya empuuk banget, tapi dengan serat yang masih terasa sekali. Aroma bawang bombay meresap sampai ke dalam dan terasa pada setiap gigitan. A very simple yet satisfying piece of steak (tanpa saus sama sekali lho!).

Barg dibuat dari daging yang digiling bersama bumbunya (dithumbuk, kata Abou Ali). Rasa bawang bombay semakin kuat dan tajam. Tampak ada sedikit jejak lemak pada dagingnya. Teksturnya kasar dan crumbly. Gilingan daging ini dibentuk sama seperti kobideh, fanjang..

Kedua potong daging ini didampingi oleh tomat dan cabe hijau yang dibakar sampai agak hangus, seiris jeruk nipis dan dimakan bersama nasi atau roti. Tentu saya pilih roti bundar tipis, yang saya kenal sebagai Lebanese bread. Roti ini dibuat sendiri oleh Abou Ali. Fresh banget rasanya. Saya sampai tambah rotinya lho..

Sebelum pulang saya beli tambahan roti. Sayang cuma dapat selembar. Anaknya Abou Ali, si Ali, kemudian cerita:
"sebetulnya masih ada, tapi tinggal sedikit, untuk doner kebab (kebab turki). Kalau mau anda bisa fesan, nanti kita bikinkan"

Selesai menyantap kebab yang sedap ini, di rumah saya menubruk kopi Toraja keluaran Aroma.. aahh.. ya salaam.. ni'mat.. Alhamdulillah..

Friday, April 1, 2005

Jumlah Ayam dalam Bubur

Berapakah jumlah ayam yang paling generous dalam bubur ayam?

Well, it's interesting..

Pada dasarnya komponen bubur ayam mirip dengan nasi+pecak ayam yang biasa dijual di warung tenda pecel lele. Hanya dengan jumlah air yang jauuuh lebih banyak :)

Nah masalahnya dalam nasi+pecak ayam, ayam yang digunakan adalah seperempat ekor (quarter chicken, kata Nandos mah). Either paha kumplit atas-bawah (maryland cut?) atau dada+sayap.

Dalam sebuah pengamatan yang saya lakukan, ayam yang digunakan untuk menaburi bubur biasanya hanya diambil dari seperempat dari seperempat ayam itu tadi (jadi berapa ya? seperenambelas ayam?). Kalo si Mang Bubur rada baik, maka akan digunakan setengah dari seperempat ayam itu tadi..

Walhasil, sakgenerous-generousnya tukang bubur, dia nggak akan pakai lebih dari seperdelapan bagian ayam dalam seporsi bubur.

Ingat, we're talking about bubur ayam kios, gerobak atau tenda, bukan restoran.

Kenapa hanya seperdelapan? ini karena constraint factornya adalah luas permukaan bubur dalam mangkok. Mangkok standard yang digunakan (warna putih, bergambar ayam dan sawi, ada logo "Sasa" atau "Miwon"), berdiameter paling besar 5 inch. Ini tidak bisa memuat terlalu banyak ayam. Apalagi kalau harus berdesakan dengan kacang, seledri, bawang goreng dan tentu saja, kerupuk yang bulk volume-nya ampun-ampunan..

Seperdelapan ayam ini supaya tampak banyak bisa ditreatment dengan menaikkan bulk volume-nya. Caranya? Daging ayam diiris tipis, terus digeprek pake piso, terus disuwir kueciiiill-kecil, sampai tingkat serat. Nah, kelihatannya jadi banyak kan? tinggal diawurin deh di atas bubur.

Buburnya sendiri mungkin dibuat hanya dari setengah atau tigaperempat jumlah beras yang digunakan menjadi nasi.

Terus, hubungannya sama harga?

Kalo nasi+pecak ayam (quarter chicken) dibandrol 7,500 perak.. maka separuh nasi dan seperdelapan ayam menjadi..? You do the math deh yeee..

-Lengkapnya bisa dibaca di buku "Kumon for Tukang Bubur - Irvan Karta, Jalansutra Publishing, 2005" :)

Monday, March 28, 2005

Makan Bubur di Cibubur

Beberapa malam yang lalu saya pulang ke rumah, nyetir dalam keadaan ngantuk berat. Asli ngantuk. Buat saya ini sama bahayanya sama drunk driving! Serious Note: DON'T DO THAT!!

Nah, ketika menyusuri jalan Lapangan Tembak Cibubur menuju ke arah timur, saya memutuskan untuk menghilangkan ngantuk dulu dengan mampir di sebuah warung tenda berspanduk kuning bertuliskan "BUBUR AYAM KHAS BETAWI".

Bubur ayam khas Betawi? Yang gimana ini teh? Saya mah taunya bubur ayam sukabumi (dua mahzab), bubur ayam bandung (juga dari 2 mahzab), bubur ayam cina (kayak yang dijual Ta Wan), bubur ayam madura (samping pabrik, pake kuah santen kuning), bubur ayam cirebon (ga suka euy) dan tentu saja bubur ayam sakit (bubur bikinan Ibunda kalau saya lagi sakit, waktu kecil dulu. Isinya cuma bubur nasi sama telor rebus dan kecap. Yaks!! Jadi pengen cepet sembuh!!)

Sentuhan saya dengan bubur dari Betawi pernah terjadi satu kali. Tahun lalu ketika jadi KilMan (Wakil Mandor) di hajatan HFHC. Di situ dijual Bubur Dingin Khas Betawi. Apakah ini yang dimaksud?

Dengan mata berkunang-kunang karena ngantuk, saya pesan satu porsi.

"Pake telor?"
"He eh" jawab saya dengan mata setengah terpejam..

Tiada seberapa lamanya, datanglah semangkok bubur yang "katanya" khas betawi itu. Bubur nasi dengan warna putih (kalo ijo namanya bubur kacang, Irvan!). Ditaburi dengan kacang kedelai goreng, suwiran ayam, seledri, bawang goreng, dan disiram kuah semur. Kuah semurnya agak bening, tidak mlekoh. Mungkin kecapnya bukan kecap yang ada gambar burungnya.. (*kedip-kedip to Mr. Bond*).

Lho telornya mana? Ternyata telornya diintegrasikan dengan buburnya. Kuning telor ayam kampung ditilepkan (hayyaaahhh, bahasanya!) diantara bubur. Panasnya bubur akan menyetengahmatangkannya (arrghh.. what's wrong with my bahasa?).

Selain kuah semur yang bening ini, kok tampilan bubur khas ini biasa aja ya? mirip sama bubur tipe lain? Rasanya? Nah, ini diaa.. Rasanya beda. Asli beda sama bubur kebanyakan. Mungkin efek dari kuah semur itu ya. Kuah ini saya duga isinya cuma kaldu ayam dengan sedikit bebawangan, lalu di enrich dengan kecap. Tapi kok bisa bikin sensasinya beda ya? Apakah bubur nasinya "dikerjai" dengan cara lain?

Sebenernya overall rasanya biasa aja. Nggak sampe "endang bambang tiada terbilang" (baca: die die must try). Tapi lucu aja.. beda. Yang juga unik adalah sambelnya. Di meja disajikan semangkuk sambel yang ternyata adalah sambel kacang ala nasi uduk!!

Dengan masuknya sambel ini, rasa bubur khas betawi ini semakin menjauh dari rasa bubur pada umumnya. Makin ada khasnya gituh..

Setelah ngantuknya hilang, saya ngobrol sebentar dengan penjualnya sambil nunggu kembalian. Ternyata menurut dia bubur yang dijualnya ini adalah versi tidak lengkap dari bubur betawi. Versi lengkapnya adalah bubur, ayam, kedelai, seledri, semur kentang, sambel kacang, sambel mentah, toge dan ikan teri asin. Lho.. kok sama dengan Bubur Dingin? Ternyata memang iya.. Si Abang penjual bubur di Cibubur ini
bilang, kalau dikumplitin, malah jarang yang mau. Makanya sama dia nggak dikumplitin.. Emang sih, kayaknya orang masih belum terbiasa makan bubur pake toge dan teri asin.. (padahal asli.. endang bambang tiada terbilang lho bow..:)

Wednesday, March 23, 2005

Bandoengsche Melk Centrale




Priok, Maret 1903:

Kapal Perancis La Seyne mendarat di pelabuhan Priok. Diantara penumpangnya, 20 orang Boers (keturunan Belanda dari Afrika Selatan) yang kelelahan menginjakkan kakinya di Batavia.

Netherland, 1935:

Sudah sepuluh tahun ini di koran banyak iklan yang mengajak orang untuk datang dan bermukim di kota yang akan dikembangkan jadi Ibu Kota Baru di Hindia Belanda. Sebuah kota yang bisa ditempuh dalam waktu 2.5 jam naik kereta dari Batavia. Jalur ini dilayani 4 jadwal kereta SS tercepat di Hindia Belanda: The Vlugge Vier. Berangkat dari Batavia jam 06.45, 10.02, 13.32 dan 16.00.

Sebuah kota bernama Bandoeng.

Soal makanan, jangan khawatir. Selain makanan setempat, makanan Belanda yang berbasis susu juga tersedia cukup. Salah satu pemasok bahan olahan susu ternama di Bandung adalah Bandoengsche Melk Centrale. Tempat ini adalah pusat pengolahan susu yang dipasok dari 22 peternakan di Pangalengan dan Lembang yang per harinya bisa
memproduksi 13,000 liter susu! BMC didirikan oleh Louis Hirschland dan Van Zijl, juragan peternakan sapi yang jago bisnis. Mereka adalah orang Boers. Tak jelas apakah mereka adalah keturunan atau justru salah seorang Boers yang turun di Batavia dengan kapal La Seyne 30 tahun lalu..

Bandung, Maret 2005:

Laper! Dari pagi belum sarapan.. Saya duduk di salah satu bangku di sudut BMC. Bangunan tua yang masih terawat sangat baik, setelah renovasinya di tahun 1999. Berbeda sekali dengan Ragussa, tempat makan djadoel di Jakarta yang tampak agak lusuh..

Beberapa foto hasil repro terpajang di dinding. Saya mengenali salah satunya sebagai pojokan Bragaweg yang berujung di Grootepostweg (pojokan Braga-Asia Afrika). Cantik sekali.

Di meja lain, pesanan mulai diantar. Sup buntut goreng dalam ukuran besar. Buntut sapinya cukup banyak dan digoreng kecoklatan dengan baik. Kuahnya agak keruh dengan aroma bumbu yang cukup tajam. Sayang, saya hanya jadi penikmat pasif.

Tak seberapa lama, nasi liwet melintas. Nasi liwet ala sunda dalam wadah panci kecil (asli, kecil) dengan segala aksesorinya dalam nampan terpisah. Menyusul di belakangnya, pesanan ketiga, nasi timbel kumplit. Timbelnya berukuran cukup besar, tapi tampaknya didampingi lauk yang standar saja. Lagi-lagi, saya menjadi penikmat
pasif

Ahh.. sarapan saya datang. Segelas yoghurt strawberry, secangkir kopi dan sebuah crepe berisi pisang dan keju.

Yoghurt bikinan BMC belum mampu menandingi yoghurt bikinan jawara Jalansutra, Meneer Marchell van Buitenzorg. Kurang halus dan kurang kental. Yoghurt BMC disajikan dengan pecahan es batu sehingga jadi semakin encer. Mungkin untuk mengakomodasi lidah yang nggak terlalu suka asam. Sirup strawberry-nya diguyurkan begitu saja diatas yoghurt dan es. Penampilannya jadi lucu sih, yoghurt putih dengan semburat
goresan sirup merah di sana-sini. Menarik.

Kopinya nggak penting untuk dibahas deh. Bener. Apalagi sebelum ke BMC saya sempat mampir ke Aroma di Banceuy.

Crepesnya besaar. Supaya muat di atas piring, crepes ini harus dilipat 3 kali. Buat saya ini kok lebih enak daripada crepes yang dijual di mall-mall itu ya? Bagian pinggirnya agak renyah dan ditengahnya moist terkena pisang dan parutan keju. Pas dapet pisangnya manis banget dan sangat aromatik. Walhasil gurihnya kulit crepes dan keju dilapis dengan baik oleh manis dan harumnya pisang.

Overall, makanan di BMC memang tidak terlalu istimewa. Tapi buat saya yang suka dengan ke-djadoel-an bangunan dan cerita di baliknya, sarapan di BMC jauh lebih berkesan daripada malam minggu bersusah-susah mendaki Dago untuk ngafe.

Apalagi selesai sarapan telat (brunch) di BMC, bisa nerus ke warung Sawios yang nggak seberapa jauhnya dari situ buat makan siang..

Tuesday, March 1, 2005

BandrExperience

Review by one of the best.. Qumay

Temen-temen..
Baru dapet kiriman Bandrek Abah ex Ciwidey (bandrek konsentrat) 2
botol nih. Ga akan abis kalo diminum sendiri. Botolnya segede botol
sirup marjan dan pemakaian kira-kira 2 sendok makan per gelas.
Ada yang berminat? atau mau diseduh rame-rame? enak begitu aja,
apalagi dicampur susu kental manis. Rasanya nendang pisan lah..
dijamin :)
Di botolnya aja ada tulisannya "Sepesial". Buat bikin badan anget,
ngilangin masuk angin, pegel-pegel, pilek dan lain-lain..
Mau? Kapan? Dimana? (terbayang ngebandrek ditengah terjangan angin
dingin nan kencang di sebuah warung nasi di seberang dananu..).

Wass
irvan


Begitulah bunyinya imel dari IHH kepada kami anggota dunia persilatan JS dari perguruan ketoprak dangdut. Akhirnya setelah berbalas pantun sekian kali, teman-teman memutuskan kita akan mengadakan "bandrexperience" pada hari minggu (kuturut ayah ke kota :P) siang menjelang sore setelah acara sahabat museum di monas di-klaar-kan.

Tempatnya? Berhubung yang punya bandrex sudah membayangkan diterjang angin dingin di sebuah warung nasi di seberang danau, maka ya kita manut saja, apalagi saya, dengan senang hati wong gak usah pergi jauh-jauh :))

Sekitar jam 14an para peserta mulai berdatangan, hehe… hahaha… serasa, gak mau kalah sama kelas wine-experience aja :P padahal kita cuma berlima.
Memang, yang confirm datang kami ber5. Lisa pamit karena hari ini mo ujian skripsi (good luck ya neng!), Grace harus menjemput om nya, Captain ada acara mantenan, yang lainnya tidak memberi kabar. Jadi peserta siang itu adalah: saya yang ketempatan, irvan yang punya bandrek, dila bondan yang bukan cucunya pak BW, Tipoy yang moderator, dan lidia tanod yang camat cinere (harus dengan ijin beliau, kalau tidak bisa dibredel acara kemarin :P). later bergabung juga mamel & uda.

Irvan menghampiri saya yang menyambutnya dengan tersenyum lebar dan ramah (saya memang grapyak, semanak tur grayak). Ditangannya ada sebuah botol yang kemudian dipresentasikan kepada saya dengan posisi agak direbahkan dengan merk nya di depan, agar terbaca oleh saya, persis cara orang mempresentasikan wine sebelum dibuka. Hehe… tidak salah kan kalau kami menamakan forum kemarin dengan "bandrexperience" :P
Botol tersebut bacaannya begini: "SEPESIAL".

M: Van, minumnya boleh pakai gelas apa aja, atau ada gelas khusus yang harus dipakai supaya "aroma dan rasanya" lebih yahoo (pinjam istilah om john gunawan), Hehe… yang ikut kelas wine siapa yang tergila-gila siapa :P).
I: anything,
langsung saya mengeluarkan gelas apa aja yang saya punya.
M: Pertanyaan kedua, diseduh dengan air panas, apakah air panas dari dispenser cukup atau harus air mendidih?
I: air mendidih
Langsung lari merebus air untuk kira-kira 3 gelas

Pas mau tuang-tuang, irvan memandang saya dengan memelas: boleh makan dulu gak? Huahuahaha… ternyata mereka belum pada makan siang!
Langsung terjadi pesan memesan makanan. Saya sudah makan, jadi sebenarnya boleh langsung mbandrek, tapi kasihan yang lain. Irvan & Titin memesan paket nasi uduk komplit sedangkan Dila memesan sepiring rujak cingur.

Saya tidak memiliki pengetahuan tentang "bandrek & food pairing" maka saya serahkan kepada rekan-rekan yang kemarin makan, apa rasanya setelah makan rujak cingur terus minum bandrek? Apakah jejak rasa petisnya menjadi lebih gurih? Atau rasa udang di petis jadi lebih keluar? Atau yang makan nasi uduk kemudian mbandrek, apakah rasa gurih santan menjadi lebih gurih lagi atau gimana? Haiyyyah… apa sih?

Irvan menuangkan dosis konsentrat bandrek ke dalam 3 gelas, gelas saya, lidia & dila. Titin tidak mau. Ah nona menado ini, mana kenal sama bandrek :P, mungkin dia tahu bandrek tidak bisa di pairing dengan makanan menado, jadi tak kenallah dia maka tak suka pulalah dia.

Air mendidih dituang, aduk-aduk dengan sendok dan diseruput pelan2. saking panasnya maka saya minum dengan "menyendoki" (duh bahasanya). Seruputan pertama lebih berasa panasnya air mendidih, hehe… tunggu sebentar kalau begitu. seruput lagi, hem… manis, kurang pedes. Tapi… tunggu dulu… sssssss si bandrek mengalir ke dalam perut. Sssss… anget euy. Seruput kedua… nah ini dia yang dicari: pedes panas anget campur jadi satu dari mulut turun ke leher sampai ke perut. Jejak hangatnya stay cukup lama.
Tidak kalah dengan wine, saya juga membaui gelas saya, meskipun tidak saya puter-puter swirling (bukan apa-apa, cuma berat, wong gelase gede, gelas warung:)). Dari baunya saya menemukan jejak gula jawa (soalnya warnanya coklat pekat :P) & jahe yang kuat. Sebenernya kedua komponen ini ada di tulisan di botolnya, saya cuma mengulang,
hahaha... Setelah menyeruput saya baru menyetujui ingredient nomer tiga yang juga disebut di botol yaitu: merica. Jejak pedas di tenggorokan yang tinggal cukup lama saya rasa berasal dari sini. Bagi saya Jahe pedesnya kurang nendang dan stay tidak lama di tenggorokan, meskipun di perut tetep hangat. Selain itu saya juga menemukan jejak sereh (lemon grass) dan sedikit pala. Dua bahan terakhir tidak disebutkan di botolnya.

Sebetulnya banyak cara lain untuk menikmati bandrek selain hanya diseduh dengan air mendidih. Boleh diminum dengan susu, ditambahi irisan kelapa yang ½ tua atau dicocol roti tawar (ini kegemaran dila).

Pas enak-enak mbandrek sambil "jigang" (tapi tanpa rokok klobot, berhubung kami bukan perokok), hujan gede deres turun dengan disertai angin kencang. Duh… memang enak sih dingin2 mbandrek, paaaaassss banget. Tapi kasihan teman-teman, badannya jadi kecipratan air karena tempat saya yang dirancang semi outdoor memang kurang bersahabat dengan hujan & angin.

Irvan meninggalkan 2 botol bandrek nya pada kami, saya & lidia. Tadi malam saya mencobanya dengan menambah susu low fat ke dalam gelas saya, rasanya? Saya lebih suka versi original: hanya bandrek & air mendidih.

Friday, February 18, 2005

Avon Revisited



Warung Bakso Avon di dekat simpang lima Bandung, buat saya adalah warung mie paling enak se-Bandung Raya. Mie baksonya berasal dari gagrak mie cina.

Pada dasarnya saya emang nggak suka sama bakso yang bermahzab Solo (bukan Solo style, tapi ada "kepercayaan" di kalangan keluarga saya, kalo penjual bakso model begini umumnya orang Solo). Yang dimaksud adalah bakso kanji kecil-kecil, dengan campuran mie kuning terang, toge, sawi dan guyuran kecap manis, saos cabe cap tiga tomat, cuka sidola dan sambel dari cabe rawit tumbuk. Kuahnya dibuat dari kaldu daging sapi, dengan lapisan lemak cair yang agresif. Nggak, saya ga gitu suka yang ini (ah, yang bener?)

Saya lebih suka gagrak mie cina. Mienya kurus dan panjang, dengan warna dasar 'putih rusak" (broken white) kekuningan. Kuahnya dibuat dari kaldu ayam dengan aroma ringan, segar khas bawang putih dan bawang daun. Fokusnya, bukan pada bakso, tapi pada mie-nya itu sendiri. Ramen style gituh..

Nah, mie Avon ini berhasil memenuhi kebutuhan saya akan ramen style, dengan harga yang sangat masuk akal. Bisa sih beli ramen di warung jepang dan sebangsanya, cuma kan mahal atuh. Dan yang lebih penting lagi, mie Avon klaimnya halal!

Mienya kecil, kurus dan panjang dengan tingkat kekenyalan yang baik. Mie-nya by itself sudah punya rasa yang nendang. Ga pake apa-apa padahal. Adapun kuahnya, kaldu ayam banget. Ada hint manis yang menyegarkan di kuahnya, tidak asin menyentak. Lapisan minyaknya juga moderate saja. Rahasia kaldunya saya dapat ketika saya mau pulang. Pada saat bayar di kasir (dekat pintu keluar dan dekat "dapur"nya) saya melihat seekor ayam yang sudah dibersihkan (SATU ekor ayam utuh), dicemplungkan ke kuahnya!

Monday, February 14, 2005

Pesan Cinta Blogger Indonesia

Valentine Untuk Roy Suryo



Internet, 14 Februari 2005

Sehubungan dengan berbagai komentar KRMT Roy Suryo Notodiprojo akhir-akhir ini di berbagai media, kami, komunitas blog Indonesia berkesimpulan bahwa beliau kekurangan informasi atau bahkan menerima informasi yang tidak benar tentang blog. Kami sendiri memandang bahwa blog adalah hasil dari evolusi bertahun-tahun di Internet, yang semakin menunjukkan bahwa Internet adalah wadah nyata untuk saling menghubungkan orang-orang di dunia nyata.

Kami juga yakin bahwa KRMT Roy Suryo sebagai seorang manusia tentulah sangat membutuhkan kasih sayang dari orang lain. Oleh karena itu, kami, komunitas blog Indonesia pada bulan penuh cinta ini sepakat untuk mendedikasikan hari Valentine tahun 2005 khusus untuk KRMT Roy Suryo Notodiprojo.

Salam hangat selalu serta penuh perhatian dan kasih sayang dari kami untuk KRMT Roy Suryo Notodiprojo di Hari Kasih Sayang ini.

Tertanda

Komunitas Blog Indonesia

Friday, January 28, 2005

Lounge, Pub, Cafe, Bar, Saloon, Diskotik

Ahh.. language and terms.. :)

Saya sering bingung denger orang ngomong untuk bedain mana yang cafe, pub, bar, dll.. Nah, beberapa tahun lalu, secara iseng-iseng saya pernah nyari-nyari infonya.. eh, susah juga, soalnya ga ada batasan fix diantara makhluk-makhluk itu..

In short, ini kesimpulan penuh BYKS (Benerin Yak Kalo Salah)..

Cafe:
dari bahasa prancis yang artinya "kopi" (Peter saking prancis, BYKS!), atau bahasa
turki "kahve" yang artinya.. kopi juga. Secara sederhana adalah restoran/ rumah makan kecil yang umumnya menjual makanan ringan dan refreshment, yang biasanya berupa minuman kopi. Jadi, in short ini adalah Warung Kopi (tempat alm Dono, alm Kasino dan Indro mangkal?). Di seluruh dunia, orang ngopi sambil ngobrol. Walhasil di Inggris pernah ada masanya dimana ada ungkapan "universitas recehan" (2 penny university? ah, BYKS). Kenapa? karena saking serunya orang ngobrol di warkop cafe ini, kita bisa sepinter lulusan universitas hanya dengan ngobrol sambil ngopi, yang habisnya cuma duit recehan!

Hati-hati dengan geseran kata cafe yaitu.. cafetaria! Kalo ini konon dibentuk juga dari kata cafe/kopi tapi lebih merujuk pada sistemnya. Kalo di cafe orang dilayani, kalo di cafetaria, orang ngambil sendiri/self service.

Terus apa bedanya sama kantin/ canteen? Konon kabarnya lagi.. kantin/canteen adalah cafetaria kecil.. whuaaa... lieur euy..

Bar:
Secara spesifik ini merujuk pada counter tempat menyajikan minuman (yap, tempat para Coyote Girl menari dalam Coyote Ugly movie!). Ada yang bilang katanya ini diambil dari injekan kaki di bawah counter itu yang berupa batangan besi (bar). Tapi ada juga yang bilang ini karena konstruksinya yang mirip sel (terkurung) maka bartender itu berdiri "behind bar" (=dipenjara?). Karena merujuk pada counter, maka bar bisa ada di cafe, restoran, pub, rumah pribadi sampe kamar hotel (ada minibar-nya kan?).

Tapi, di bar mestinya ga mungkin ada cafe-nya..

Pub:
Kerjaannya orang inggris yang bisa ngeracik minuman dan makanan ringan. Sayang-sayang keahliannya nggak ketahuan umum, para juragan ini membuka rumah/bagian rumahnya untuk umum sehingga jadi "public house" atau in short "pub". Pemilik/manager/juragannya sampe sekarang masih disebut sebagai "host", dan harus dihormatin sebagai "host" bukan "waitress"! Hubungan antara host dan visitor
ini lebih kekeluargaan daripada komersial. Kayak main tamu-tamuan gituh.. Bahkan ada pub yang regularnya sampe punya tim sepakbola atau dayung! Nah, denger-denger, di inggris, etika nge-pub ini buanyak banget sampe ada tinjauan sosiologisnya. Para "regular" di pub biasanya dikenali sama host, dan dipanggil "nama". Tradisi gantian traktir minum (sharing round) juga adalah etika di pub.

Saloon:
He..he.. pasti langsung inget Lucky Luke! Ini artinya dalah "ruangan gede". Bisa yang ada di bagian bawah hotel, bisa yang ada di kapal, bahkan kalo mobil sedan yang lega aja sering disebut "saloon". Karena gede itulah, saloon bisa diisi dengan bar, meja makan, lounge, bahkan saking gedenya bisa juga buat berantem, naik kuda atau adu tembak-tembakan.. hayyaahhh.. Lucky Luke bangeeeett..

Lounge:
Ini merujuk pada ruangan yang ada sofanya.. he..he.. ini BYKS banget. Yang jelas ini adalah tempat duduk-duduk yang nyaman gitu deh.. Jadi restoran bisa ada lounge-nya, cafe juga bisa ada lounge-nya.. lha wong ruang tunggu dokter aja kalo pengen nyaman banget bisa dibikin berupa lounge..

Diskotik:
puguh ini mah.. tempat joget!

Thursday, January 20, 2005

Laksa Bogor vs Bakso Pontianak

Bogor, Jalan Surya Kencana, belok kanan di plang Kampus Kesatuan,
tepat di pintu parkiran swalayan Grand. Disitulah seorang tukang
laksa bogor mangkal.

Ketika kami (saya, Adi tukang masak, Marchel dan Dila) mampir ke
situ jam 12 siang (sebelum acara Coffee Blind Tasting), kami sudah
nyaris kehabisan. Sang penjual tidak ada di tempat dan harus
dipanggil dulu. Dia datang tergopoh-gopoh dengan membawa sebungkus
bihun yang sudah direbus. Wah, ternyata bihunnya habis..

Laksa memang banyak banget variannya, tapi intinya adalah bihun
(a.k.a laksa) dengan berbagai aksesoris lalu diguyur kuah santan
yang kental dan gurih. Jangan bandingkan laksa bogor ini dengan
laksa dari semenanjung Malaka, beda banget mahzabnya. Bahkan di
Bogor dan sekitarnya pun, jenis laksa yang dijual bisa bermacam-
macam. Laksa bogor kali ini menggunakan kuah santan berwarna kuning
cerah dengan konsistensi yang ringan.

Yang unik adalah cara peracikannya. Dalam sebuah mangkuk kosong
diisikan bihun rebus dengan jumlah banyak, toge mentah, daun
kemangi, dan potongan oncom oranye fresh. Setelah itu mangkuk
diguyur dengan kuah laksa yang panas, lalu kuahnya ditumpahkan lagi
ke pancinya (seperti di tukang sop kaki kambing). Dilakukan berulang-
ulang sampai oncomnya matang, dan toge dan kemanginya layu. Pada
guyuran terakhir barulah ditambahkan potongan tahu yang direbus
bersama kuahnya. Sebagai pelengkap, ditambahkan juga seperempat
potong telur rebus dan taburan serundeng kelapa. Bisa dibayangkan
rasa yang timbul dari racikan ekstra kaya seperti ini bukan?

Rasa manis dan gurih santan terasa benar pada hirupan pertama. Belum
habis sensasinya langsung disusul dengan hentakan aroma kemangi
(tambahin sedikiiit lagi deh Mang). Permainan teksturnya juga seru.
Mulai dari bihun, oncom dan serundeng yang agak kasar dan tahu yang
lembut.

Komentar Adi, kuahnya terlalu ringan dan secara keseluruhan tidak
ada rasa yang dominan. Seluruh komponen kontribusinya sama
menariknya. Kesimpulan, ini adalah makanan yang bagus buat
membangunkan indera perasa.. maka cocok banget buat makanan pra-
sarapan!

Total kerusakan, semangkuk laksa dan sebotol teh: 6 ribu perak.

Karena indera kami sudah terlanjur bangun, maka perjalanan kami
lanjutkan sebentar. Masih di kawasan yang sama, kami mencoba
(tepatnya dipaksa mencoba!) bakso kuah pontianak. Bakso pontianak di
Bogor? Yap!!

Ini adalah varian bakso gepeng, kasar dan baso tahu dengan kuah
kaldu yang ringan sekali. Baksonya (terutama yang kasar) terlihat
sebagai home-made product (bentuknya ga seragam!). Baso tahunya..
hmm.. juara! Tahunya lembut sekali. Tapi rahasia dari sajian ini
terletak pada bawang putih tumisnya. Setelah bakso dalam mangkuk
siap, lalu ditaburi dengan campuran bawang putih yang di-sautee
lengkap dengan minyaknya. Aroma bawang putih yang (surprisingly)
tidak terlalu tajam ini blend banget sama kuah kaldunya. Apalagi
setelah dikucurin air jeruk dan sambel. Versi lengkapnya sajian ini
menggunakan kuetiau rebus dan toge.

Arem-arem 101

Kapankah sebuah arem-arem bernama arem-arem dan kapan ia bernama
lontong atau lemper?

Pada jaman dahulu kala, yang saya tahu arem-arem adalah bungkusan
daun pisang berisi mie rebus padet yang dimasak pake santen dan
diisi tumisan wortel dan hati ayam/sapi. Kind of schotel but not
really :) Oleh ibu saya, isiannya sering juga diselipin cabe rawit
utuh ditengahnya, supaya saya nggak kecepetan makannya..

(ps. saya harus makan dengan agak cepat karena arem-arem biasanya
dibuat menjelang arisan ibu-ibu Dharma Wanita, yang sepulangnya dari
rumah saya mereka pada mbungkus pake tisu dengan sangat agresif
sehingga saya nggak kebagian lagi..:)

Lalu kemudian saya tahu juga bahwasannya arem-arem sesungguhnya juga
bisa dibikin dari beras. Bedanya dengan lontong adalah penggunaan
santan dan daun salam pada proses pemasakan nasinya. Pun memasak
nasinya sampai lunak benar..

Ah, terbersit pikir.. kalau Jeng Maia juragan Nasi uduk memasak nasi uduk terlalu
lembek, gelar saja di atas daun pisang, kasih tumisan hati ayam
(atau goreng paru?), gulung, semat dan kukus lalu jual sebagai arem-
arem.. this will be salah satu yang "uediaann maannn"

Lalu bedanya dengan lemper? Ya beda atuh.. lemper mah dari beras
ketan..

Lalu, apa bedanya arem-arem dengan bakcang? Bedanya lemper dengan
bakcang? Bedanya lemper dengan semar mendhem? Bedanya semar mendhem
dengan lontong? Bedanya lontong dengan buras? Bedanya buras
dengan... Hayyyaaahhhh!!!

All You Can Eat.. Really?

Apa sih arti sesungguhnya dari kata "all you can eat"? Mungkin
dulunya (duluuu banget) ada orang yang buka warung makan dengan
memajang tulisan "Have all (food) you can eat for $xx" makanya
terjemahan bebas dari konsep "all you can eat" menjadi "bayar satu
harga, makan sepuasnya".

Menurut saya banyak warung makan yang sesungguhnya menerapkan
konsep "all you can eat" (AYCE) tanpa mengumumkannya. Misalnya saja
warung padang di dekat sekolah saya dulu. Dengan hanya 8,000 perak
anda bisa "makan sepuasnya".. dengan syarat anda HARUS makan nasi
dan sayur. Walhasil anda paling hanya akan mampu menghabiskan
sepotong lauk (daging, ayam, telur atau ikan). Dua deh paling
mentok. Begitu menghabiskan segunung nasi dengan sayur gulai nangka
dan daun ubi, plus sepotong balado ayam, dijamin "you can eat no
more!"

Lho katanya AYCE, kok dibatasin harus makan nasi dan sayur? Ya nggak
apa-apa.. kan di restoran AYCE yang lain juga sering ada syarat-
sayarat. Misalnya di Hartz Chicken, ada syarat "all you can eat..
for 2 hours". Di tempat lain ada "all you can eat.. without drink",
ada juga yang "all you can eat.. but cook yourself!" Jadi, fair aja
dong kalo di warung padang itu bilang "all you can eat.. with
rice+veggie!"

Contoh lain adalah warung Ceu Emi di Cinere..
(disana berdua makan sampe puas abis 53,000 perak atau bisa dibilang
26,500/ orang). Kalau kita lihat maka dengan 26.5 K per orang,
warung Ceu Emi bisa menjadi warung AYCE. Tentu dengan syarat "kudu
pake nasi dan lalap!" Bisa rugi bandar kalo orang dateng dan cuma
makan ikan mas gorengnya doang tanpa nasi.. bisa lebih dari 7 biji
abisnya (mestinya juga ada tulisan "WARNING: Ikan mas goreng ukuran
30 cm BUKAN cemilan!")

Satu lagi.. Warung pecel di dekat rumah saya memasang tulisan AYCE
di dindingnya. Tapi menunya sangat variatif sehingga tak mungkinlah
kita mematok suatu harga untuk bisa makan sepuasnya. Ini berlaku
buat konsep AYCE sungguhan maupun karangan saya kayak di atas. Lalu,
kok keukeuh masang tulisan AYCE? Ternyata di bawah tulisan itu ada
lingkaran dengan tulisan HALAL.. Nah, jelaslah sudah konsep AYCE
yang satu ini.. "All you can eat" adalah: "Semuanya boleh anda
makan.. halal kok.."

Jadi pada dasarnya semua restoran bisa kita lihat sebagai AYCE..
Setuju? (pasti nggak deh!)

Kobenhavn.. Menengok Sang Putri

"Far out at sea the water´s as blue as the petals of the loveliest
cornflower, and as clear as the purest glass; but it´s very deep,
deeper than any anchor can reach. Many church steeples would have to
be piled up one above the other to reach from the bottom of the sea
to the surface. Right down there live the sea people.."


Kobenhavn (dengan huruf "o" coret) atau "Merchant Haven" atau
Copenhagen, ibukota Denmark adalah kota terbesar di Scandinavia.
Enam hari saya habiskan di kota ini dan pada hari kelima saya
bertemu dengan salah satu warga kota yang paling terkenal di dunia,
seorang gadis cantik bernama "Den Lille Havfrue".

Gadis muda berwajah sedih ini mungkin anda kenal lewat dongeng HC
Andersen, dan anda mengenalnya dengan nama "The Little Mermaid".
Dongeng yang bercerita tentang putri duyung kecil yang jatuh cinta
pada seorang pangeran. Sang putri kecil saat ini duduk di pelabuhan
Langelinie - Copenhagen, di atas sebuah batu yang sudah ditempatinya
sejak tahun 1913. Ia menatap sendu kearah daratan, mencari
pangerannya di antara ribuan orang yang mengunjunginya sepanjang
tahun.

Copenhagen adalah kota tua yang berhias banyak sekali patung.
Rasanya hampir di setiap sudut jalan, di depan bangunan, di taman-
taman selalu terdapat patung perunggu berbagai ukuran dan bentuk.
Mulai dari patung badan para tokoh penting Denmark (HC Anderson,
Soren Kirkegaard dll), patung para kesatria berkuda, dan patung dewa-
dewa. (Gefion, dewi Nordic yang merubah anak-anaknya menjadi
banteng, lalu menerbangkan sepotong tanah di Swedia yang lalu
berubah menjadi pulau Zaeland di Denmark)

Ketika menginjakkan kaki pertama kali di kota ini, hal "aneh" yang
langsung saya temui adalah lampu mobil. Ya, lampu mobil di Denmark
selalu menyala! Setiap saat, siang – malam, hujan – panas, winter –
summer.. pokoknya begitu mesin mobil hidup maka lampu juga langsung
menyala. Menurut supir taksi yang saya tumpangi, pemerintah membuat
peraturan seperti ini karena dulunya banyak warga yang kelupaan
menyalakan lampu ketika mengemudi. Karena cuaca Denmark
umumnya "kelabu" maka penting sekali menyalakan lampu khususnya di
saat menjelang winter. Nah, daripada kelupaan.. sekalian saja dibuat
peraturan, lampu harus nyala terus!!

Lampu yang menyala setiap saat juga membantu para pengendara sepeda
yang jumlahnya luar biasa banyak. Masih dari supir taksi tadi, saya
juga dapat cerita kalau para pengguna sepeda di Copenhagen itu gigih
luar biasa. Tak peduli hujan badai atau salju setinggi lutut, mereka
akan tetap bersepeda. Di depan stasiun utama dan di halaman stasiun
kereta Norreport, puluhan – bahkan mungkin ratusan – sepeda diparkir
setiap harinya. Bahkan kalau anda mau coba, cari saja persewaan
sepeda. Dengan 20 kroner, anda bisa membuka kuncinya dan memakai
sepeda itu seharian. Koin 20 kroner anda akan kembali ketika sepeda
anda kembalikan. Tapi di udara yang cukup dingin di akhir Oktober,
saya tidak punya niat sedikitpun untuk bersepeda keliling kota..
Anginnya kencang!

Bersama dengan Norwegia, ikan salmon adalah salah satu produk
andalan dari Denmark. Persaingan salmon ini berlangsung seru, bahkan
bisa sampai tingkat emosional. Seorang teman Norwegia yang makan
bersama saya (menunya ikan salmon mentah yang dicincang kasar lalu
dicampur dengan krim dan herbs) mengorek ikan salmonnya dengan gaya
curiga. Setelah suapan pertama, sambil mengangguk puas dia
berkata "Must be Danish salmon.. not as good as Norwegian!" Padahal
untuk lidah saya, daging ikan yang disajikan sudah begitu lezat lho.
Kenyal dan sangat gurih. Di supermarket saya perhatikan, daging ikan
salmon dari Norway memang berwarna lebih merah. Rasanya? Wah, sayang
nggak sempat nyoba tuh..

O,ya.. mungkin juga karena supply ikan salmon yang cukup banyak
inilah, saat ini banyak sekali sushi restaurant dan take out yang
dibuka dan populer di Copenhagen.

Steak masih merupakan menu makan malam andalan selain salmon.
Restoran Peder Oxe di Graabroedre torv 11, tidak jauh dari tempat
saya menginap, menyajikan steak yang luar biasa. Restoran ini
menempati sebuah bangunan tua (as any other building in Copenhagen!)
dan sangat ramai. Bentuknya menyerupai rumah dengan banyak ruangan.
Meja-meja disusun agak berdesakan sehingga kesan `hangat' dan akrab
bisa terbentuk.

Makan malam waktu itu dibuka dengan lobster soup yang berwarna
oranye cantik. Sup ini sangat gurih, creamy dan thick. Rasanya tidak
salah kalau ingin membersihkan sisa sup di mangkuk dengan roti!
Next, the steak itself. Daging setebal hampir 2 inch dipanggang
dengan doneness medium (permintaan saya), lalu diiris tipis
melintang sehingga gradasi tingkat kematangannya jelas terlihat.
Agak kering coklat di bagian luar, kelabu lalu pink di tengahnya.
Cantik sekali. Steak ini datang dengan sejumput besar salad (4 macam
lettuce) dan potato wedges yang gemuk. Untuk gravy/ sausnya,
diguyurkan krim putih dengan cincangan aneka rempah daun.

Hal unik yang saya temui di restoran ini adalah tersajinya beberapa
botol wine (red) di atas meja dalam keadaan botol terbuka (tanpa
tutup). Tampaknya ini wine bikinan sendiri karena botolnya tidak
berlabel tetapi menggunakan marking nama dan lambang restorannya. Di
atas meja juga tersedia botol-botol gelas bening (bentuknya seperti
botol wine) yang penuh berisi air dan sebatang daun mint di
dalamnya. Aroma mint yang terdifusi dalam air ini agak lemah, tapi
cukup terasa. Botol-botol air+mint ini juga tidak berlabel, hanya
marking lambang dan nama restorannya.

Wednesday, January 19, 2005

Mengapa Buntut Enak? Sebuah tinjauan anatomik

Mengapa sop buntut dan sop iga itu enak? Maksudnya.. kedua menu ini selalu spesial deh, dibandingkan sop daging biasa.

Berikut adalah beberapa dugaan (hayyaahh, sok serius mode: on!)

1. Daging pada bagian buntut dan iga jarang bergerak.

Buntut/ekor digunakan oleh sapi umumnya untuk mengusir lalat atau
serangga yang mengganggu. Pada hewan berkaki empat, sebenarnya
fungsi lain dari ekor adalah sebagai counter-balance (penyeimbang)
apabila hewan tersebut berlari. Pada makhluk berkaki dua, fungsi
counterbalance dilakukan oleh tangan (karena itu ketika berjalan,
kedua tangan kita bergerak berlawanan dengan gerakan kaki bukan?)
Seperti kita tahu, sapi saat ini sudah jarang berlari. Kecuali pada
saat diadu lari (karapan). Dengan demikian bagian ekornya juga tidak
lagi terlalu banyak bergerak.

Fungsi lain dari ekor pada sapi adalah untuk berhitung.. kan lebih
mudah menghitung sapi dengan ekornya.. satu ekor, dua ekor..
(hayyah.. another issue!:).

Karena ekor sapi ini tidak terlalu banyak bergerak, maka struktur
ototnya tidak "sekencang" bagian paha misalnya. Akibatnya daging
pada bagian ekor/buntut juga lebih empuk. Teori yang sama juga bisa
diterapkan pada bagian iga. Otot pada bagian ini hanya bergerak
ketika sapi bernafas. Sebuah gerakan yang ringan dan tanpa beban.

Bagian sapi yang juga relatif jarang bergerak adalah otot di bagian
tulang belakang, sebelum paha. Kalau pada manusia, ini adalah bagian
tubuh yang membuat Inul bisa melakukan gerakan "ngebor". Kira-kira
bagian pinggang. Pada sapi, bagian inilah yang menghasilkan sirloin
steak, salah satu potongan daging paling bagus.

2. Ekor dan iga "mengandung" tulang

Ada english saying yang mengatakan "meat closest to the bone is the
sweetest". Manis bukan dalam artian seperti rasa gula, tapi
yang "paling bercitarasa".

Ketika dipanaskan, mineral dalam tulang (juga sumsumnya) terdifusi
kepada dagingnya. Karena laju difusi berbading terbalik dengan
ketebalan, maka citarasa daging (otot) pada bagian yang paling dekat
dengan tulang menjadi lebih sedap. Ini adalah teori dari buku "What
Einstein Told His Cook" karya Robert L Wolke. Nah, iga dan buntut
biasanya memiliki lapisan daging yang tidak terlalu tebal, sehingga
difusinya lebih mudah. Maka by default daging pada bagian ini
juga "paling manis". Belum lagi ditambah dengan lapisan tipis lemak
pada permukaan daging yang juga memberi rasa ekstra, apalagi ketika
lapisan lemak ini dibakar. Dua difusi rasa dari arah yang berlawanan
ini semakin membuat daging di bagian ini paling cihuy.

Nah pelajaran anatomi sapi hari ini sampai di sini dulu... he..he..
Untuk membuktikan kedua dugaan di atas, segera kunjungi warung sop
buntut langganan anda..

Retro!! Es Krim Woody

Sepulang dari kondangan teman di Bogor (bosen
euy kondangan mulu, kapan ngundangnya ya? :), saya menyusuri Jalan
Raya Bogor yang dulu merupakan jalur perlintasan utama Jakarta-Bogor
sebelum ada Tol Jagorawi.

Begitu masuk ke kawasan Depok, pada kilometer 37 saya mampir
sebentar di pabrik es krim Woody. Es Krim Woody! Ingatan langsung
melayang pada tahun 80-an ketika es krim ini begitu jayanya sehingga
menjadi nama default es krim buat anak-anak kecil, termasuk saya.

Pabrik Es Krim Woody membuat taman bermain gratis di halamannya.
Taman bermain kecil yang begitu sederhana. Ada beberapa ayunan,
perosotan, panjat-panjatan dan alat-alat permainan seperti di taman
kanak-kanak pada umumnya. Di taman itu juga dibuka kafetaria Woody.

Kafetaria ini lebih mirip kios es krim sih.. Gambar Woody Woodpecker
(4 ekor!) terlukis di jendela. Papan iklan dan daftar menu yang agak
lusuh termakan waktu menunjukkan "Es Lemon Spesial", "Banana
Split", "Es Krim Soda" dll.. Sayang, tak ada satupun dari menu
tersebut yang dijual lagi saat ini. Yang dijual hanyalah es krim
horn (by scoop) dan es krim dalam kemasan.

Siang itu, es krim horn tersedia dalam 3 rasa yaitu durian (!),
coklat dan stroberi. Saya coba campuran durian-coklat dan coklat-
stroberi. Es krim ini haluus sekali dan manisnya nendang! Harga per
scoop 3 ribu perak. Selain es krim, Woody juga membuat es stik. Ini
adalah es (dari air) dengan berbagai rasa, dijual dengan harga
seribu perak saja. Saya coba beli es stik rasa stroberi yang, lagi-
lagi, manisnya nendang bangets!

Untuk di rumah, saya beli seliter es krim coklat (18 ribu perak). Si
Mbak penjaga yang ramah memberi tahu kalau mereka masih menjual es
krim Joy, yaitu es Woody dalam kemasan ember berisi 9 liter.
Harganya 80 ribu perak

Martabak

Kenapa malem minggu tukang martabak ramai?

Dugaan sementara ini terjadi karena pada umumnya para pemuda membawa
martabak sebagai oleh-oleh buat sogokan (martabak biasa), atau tanda
terimakasih karena mendapatkan ijin bertamu (martabak spesial),
apalagi jika sampai diijinkan membawa sang gadis berjalan-jalan
(martabak spesial, tambah keju, coklat dan susu kental manis cap
kembang). Martabak ini tentunya untuk calon mertua tercinta..

Untuk yang tidak membawa martabak, agar tidak dieliminasi, maka
biasanya sang pemuda harus bersiap menemani ayahanda sang gadis
bermain catur..

Ahhh.. it's a good life of the eighties...

Jus Cincau Fruiterie

Pada label tertulis "Jus Cincau Hitam Besar, Fruiterie". Dengan ED
yang hanya beberapa hari, maka jus ini dijamin kesegarannya.
Wujudnya adalah cairan berwarna hitam sekitar 600 ml, dengan
serpihan cincau halus berenang di dalamnya.

Aroma yang keluar ketika membuka botolnya adalah bau kayu yang
begitu segar. Malah sempat tertangkap kesan smokey yang cukup kuat.
Entah bagaimana, cincau hitam yang biasanya nir-aroma bisa menjadi
seperti ini. Di-aging dalam oak barrel kah? He..he..

Secara mengejutkan, body dari jus ini tidak setipis bayangan saya.
Karena cincau adalah gumpalan massa mengambang dalam air, maka
bodynya saya bayangkan akan seringan air. Apalagi klaim dari Cak
Uding bahwasannya penggunaan gula dalam semua jusnya tidaklah
agresif. Memang bodynya tidaklah sedahsyat Titi Kamal, tapi it's
there!

Kejutan berikutnya yang muncul adalah rasa jahe yang menyeruak
diantara manis dan smokey taste, diantara tekstur cincau yang smooth
tapi masih terasa di gigi. Al dente? You got it!

Karena penggunaan gula tidak agresif, maka finishnya juga clean
banget dan tidak lingering.

Semua direken pantes dengan banderol cuma 2,500 perak saja

Apakah Pecel Ayam Itu Ada?

Yap, pertanyaan saya adalah Apakah Pecel Ayam Itu Ada? (APA IA?)

Pecel, buat saya adalah makanan yang masuk pada "genre" yang sama
dengan gado-gado, ketoprak dan sayur-sayuran berbumbu kacang
lainnya. Pertama mendengar Pecel Lele.. yang kebayang adalah pecel
(madiun style) yang dimakan bersama lele goreng. Ternyata, salah!

Masalahnya, setahu saya hanya Pecel Lele saja makanan
bernama "pecel" tapi berada diluar 'genre pecel mainstream'. lain
dari itu, tidak ada.

Sesungguhnya, menurut hemat saya yang tidak terlalu hemat, Pecel
Lele lebih dekat ke masakan "cobek". Sambel diulek pada sebuah
cobek/cowet, lalu diatasnya ditumpangkan lauk yang ditekan sedikit
dengan ulekan agar terjadi blending. Lauknya bisa digoreng atau
dibakar. Dan kemudian kita mengenal "Cobek Gurame", atau "Cobek Ikan
Mas"

Maka kita kembali ke pertanyaan awal. Apakah pecel ayam itu ada?
Bukankah seharusnya ia lebih dikenal sebagai "cobek ayam"?

Di resto Payon ada sebuah menu berupa sambal yang diulek di sebuah
cobek, lalu diatasnya ditumpangkan nasi putih. Kemudian disandingkan
dengan ayam goreng atau empal. Menu ini namanya "Nasi Cobek",
bukan "Pecel Nasi".

Hmm.. jadi Apakah Pecel Ayam Itu Ada? Or is it truly a "Cobek Ayam"
in disguise? The truth.. is out there..

Senja di rumah Stroberi

Hari Minggu sore 31 Juli, menjelang jam 5, saya bersama Adi anak
STM (Si Tukang Masak) dan dua orang teman sampai di Rumah Stroberi,
kawasan Lembang Bandung. Disambut hangat oleh tante Widya, oom dan
dua putrinya (sebenernya yang disambut sih Adi.. kita mah cuma
kebagian 'hangat'nya aja :).

Yang terpikir pertama ketika tiba di tempat ini adalah.. "gua nggak
akan bilang-bilang sama siapa-siapa kalau tempat ini ada!!" Biar
tetap sepi dan nyaman :)

Tempatnya asik banget.. sebuah areal terbuka, tidak terlalu luas
dengan trap-trap tanah berumput hijau. Di dekat pelataran parkir,
digelar kebun stroberi.

Kami duduk-duduk di saung yang paling atas, bahkan lebih tinggi dari
rumah utama. Lumayan dingin sih, apalagi buat yang nggak biasa ngadem.

Salah satu signature dari Rumah Stroberi ini adalah jus stroberi. Ada
dua varian, dengan susu dan original. Jus original ini jujuuur
sekali.. Isinya adalah buah stroberi dan es, lalu diblender. Sudah,
itu saja. Walhasil, rasa asli stroberinya muncul dengan sangat
berhasil tanpa tertutup oleh rasa apapun.

Sambil menikmati minuman yang segar ini, saya membayangkan kembali ke
tempat ini untuk sekedar ngobrol berlama-lama atau membaca buku.
Mungkin tak hanya ditemani jus, tapi juga secangkir teh atau kopi
yang hangat.

Menjelang malam, lampu minyak dan obor dilapangan mulai dinyalakan.
Begitu pula lampu di dalam "rumah kaca" kebun stroberi..

Di langit, bulan purnama bersinar terang sekali.. Ahhh...