Friday, January 28, 2005

Lounge, Pub, Cafe, Bar, Saloon, Diskotik

Ahh.. language and terms.. :)

Saya sering bingung denger orang ngomong untuk bedain mana yang cafe, pub, bar, dll.. Nah, beberapa tahun lalu, secara iseng-iseng saya pernah nyari-nyari infonya.. eh, susah juga, soalnya ga ada batasan fix diantara makhluk-makhluk itu..

In short, ini kesimpulan penuh BYKS (Benerin Yak Kalo Salah)..

Cafe:
dari bahasa prancis yang artinya "kopi" (Peter saking prancis, BYKS!), atau bahasa
turki "kahve" yang artinya.. kopi juga. Secara sederhana adalah restoran/ rumah makan kecil yang umumnya menjual makanan ringan dan refreshment, yang biasanya berupa minuman kopi. Jadi, in short ini adalah Warung Kopi (tempat alm Dono, alm Kasino dan Indro mangkal?). Di seluruh dunia, orang ngopi sambil ngobrol. Walhasil di Inggris pernah ada masanya dimana ada ungkapan "universitas recehan" (2 penny university? ah, BYKS). Kenapa? karena saking serunya orang ngobrol di warkop cafe ini, kita bisa sepinter lulusan universitas hanya dengan ngobrol sambil ngopi, yang habisnya cuma duit recehan!

Hati-hati dengan geseran kata cafe yaitu.. cafetaria! Kalo ini konon dibentuk juga dari kata cafe/kopi tapi lebih merujuk pada sistemnya. Kalo di cafe orang dilayani, kalo di cafetaria, orang ngambil sendiri/self service.

Terus apa bedanya sama kantin/ canteen? Konon kabarnya lagi.. kantin/canteen adalah cafetaria kecil.. whuaaa... lieur euy..

Bar:
Secara spesifik ini merujuk pada counter tempat menyajikan minuman (yap, tempat para Coyote Girl menari dalam Coyote Ugly movie!). Ada yang bilang katanya ini diambil dari injekan kaki di bawah counter itu yang berupa batangan besi (bar). Tapi ada juga yang bilang ini karena konstruksinya yang mirip sel (terkurung) maka bartender itu berdiri "behind bar" (=dipenjara?). Karena merujuk pada counter, maka bar bisa ada di cafe, restoran, pub, rumah pribadi sampe kamar hotel (ada minibar-nya kan?).

Tapi, di bar mestinya ga mungkin ada cafe-nya..

Pub:
Kerjaannya orang inggris yang bisa ngeracik minuman dan makanan ringan. Sayang-sayang keahliannya nggak ketahuan umum, para juragan ini membuka rumah/bagian rumahnya untuk umum sehingga jadi "public house" atau in short "pub". Pemilik/manager/juragannya sampe sekarang masih disebut sebagai "host", dan harus dihormatin sebagai "host" bukan "waitress"! Hubungan antara host dan visitor
ini lebih kekeluargaan daripada komersial. Kayak main tamu-tamuan gituh.. Bahkan ada pub yang regularnya sampe punya tim sepakbola atau dayung! Nah, denger-denger, di inggris, etika nge-pub ini buanyak banget sampe ada tinjauan sosiologisnya. Para "regular" di pub biasanya dikenali sama host, dan dipanggil "nama". Tradisi gantian traktir minum (sharing round) juga adalah etika di pub.

Saloon:
He..he.. pasti langsung inget Lucky Luke! Ini artinya dalah "ruangan gede". Bisa yang ada di bagian bawah hotel, bisa yang ada di kapal, bahkan kalo mobil sedan yang lega aja sering disebut "saloon". Karena gede itulah, saloon bisa diisi dengan bar, meja makan, lounge, bahkan saking gedenya bisa juga buat berantem, naik kuda atau adu tembak-tembakan.. hayyaahhh.. Lucky Luke bangeeeett..

Lounge:
Ini merujuk pada ruangan yang ada sofanya.. he..he.. ini BYKS banget. Yang jelas ini adalah tempat duduk-duduk yang nyaman gitu deh.. Jadi restoran bisa ada lounge-nya, cafe juga bisa ada lounge-nya.. lha wong ruang tunggu dokter aja kalo pengen nyaman banget bisa dibikin berupa lounge..

Diskotik:
puguh ini mah.. tempat joget!

Thursday, January 20, 2005

Laksa Bogor vs Bakso Pontianak

Bogor, Jalan Surya Kencana, belok kanan di plang Kampus Kesatuan,
tepat di pintu parkiran swalayan Grand. Disitulah seorang tukang
laksa bogor mangkal.

Ketika kami (saya, Adi tukang masak, Marchel dan Dila) mampir ke
situ jam 12 siang (sebelum acara Coffee Blind Tasting), kami sudah
nyaris kehabisan. Sang penjual tidak ada di tempat dan harus
dipanggil dulu. Dia datang tergopoh-gopoh dengan membawa sebungkus
bihun yang sudah direbus. Wah, ternyata bihunnya habis..

Laksa memang banyak banget variannya, tapi intinya adalah bihun
(a.k.a laksa) dengan berbagai aksesoris lalu diguyur kuah santan
yang kental dan gurih. Jangan bandingkan laksa bogor ini dengan
laksa dari semenanjung Malaka, beda banget mahzabnya. Bahkan di
Bogor dan sekitarnya pun, jenis laksa yang dijual bisa bermacam-
macam. Laksa bogor kali ini menggunakan kuah santan berwarna kuning
cerah dengan konsistensi yang ringan.

Yang unik adalah cara peracikannya. Dalam sebuah mangkuk kosong
diisikan bihun rebus dengan jumlah banyak, toge mentah, daun
kemangi, dan potongan oncom oranye fresh. Setelah itu mangkuk
diguyur dengan kuah laksa yang panas, lalu kuahnya ditumpahkan lagi
ke pancinya (seperti di tukang sop kaki kambing). Dilakukan berulang-
ulang sampai oncomnya matang, dan toge dan kemanginya layu. Pada
guyuran terakhir barulah ditambahkan potongan tahu yang direbus
bersama kuahnya. Sebagai pelengkap, ditambahkan juga seperempat
potong telur rebus dan taburan serundeng kelapa. Bisa dibayangkan
rasa yang timbul dari racikan ekstra kaya seperti ini bukan?

Rasa manis dan gurih santan terasa benar pada hirupan pertama. Belum
habis sensasinya langsung disusul dengan hentakan aroma kemangi
(tambahin sedikiiit lagi deh Mang). Permainan teksturnya juga seru.
Mulai dari bihun, oncom dan serundeng yang agak kasar dan tahu yang
lembut.

Komentar Adi, kuahnya terlalu ringan dan secara keseluruhan tidak
ada rasa yang dominan. Seluruh komponen kontribusinya sama
menariknya. Kesimpulan, ini adalah makanan yang bagus buat
membangunkan indera perasa.. maka cocok banget buat makanan pra-
sarapan!

Total kerusakan, semangkuk laksa dan sebotol teh: 6 ribu perak.

Karena indera kami sudah terlanjur bangun, maka perjalanan kami
lanjutkan sebentar. Masih di kawasan yang sama, kami mencoba
(tepatnya dipaksa mencoba!) bakso kuah pontianak. Bakso pontianak di
Bogor? Yap!!

Ini adalah varian bakso gepeng, kasar dan baso tahu dengan kuah
kaldu yang ringan sekali. Baksonya (terutama yang kasar) terlihat
sebagai home-made product (bentuknya ga seragam!). Baso tahunya..
hmm.. juara! Tahunya lembut sekali. Tapi rahasia dari sajian ini
terletak pada bawang putih tumisnya. Setelah bakso dalam mangkuk
siap, lalu ditaburi dengan campuran bawang putih yang di-sautee
lengkap dengan minyaknya. Aroma bawang putih yang (surprisingly)
tidak terlalu tajam ini blend banget sama kuah kaldunya. Apalagi
setelah dikucurin air jeruk dan sambel. Versi lengkapnya sajian ini
menggunakan kuetiau rebus dan toge.

Arem-arem 101

Kapankah sebuah arem-arem bernama arem-arem dan kapan ia bernama
lontong atau lemper?

Pada jaman dahulu kala, yang saya tahu arem-arem adalah bungkusan
daun pisang berisi mie rebus padet yang dimasak pake santen dan
diisi tumisan wortel dan hati ayam/sapi. Kind of schotel but not
really :) Oleh ibu saya, isiannya sering juga diselipin cabe rawit
utuh ditengahnya, supaya saya nggak kecepetan makannya..

(ps. saya harus makan dengan agak cepat karena arem-arem biasanya
dibuat menjelang arisan ibu-ibu Dharma Wanita, yang sepulangnya dari
rumah saya mereka pada mbungkus pake tisu dengan sangat agresif
sehingga saya nggak kebagian lagi..:)

Lalu kemudian saya tahu juga bahwasannya arem-arem sesungguhnya juga
bisa dibikin dari beras. Bedanya dengan lontong adalah penggunaan
santan dan daun salam pada proses pemasakan nasinya. Pun memasak
nasinya sampai lunak benar..

Ah, terbersit pikir.. kalau Jeng Maia juragan Nasi uduk memasak nasi uduk terlalu
lembek, gelar saja di atas daun pisang, kasih tumisan hati ayam
(atau goreng paru?), gulung, semat dan kukus lalu jual sebagai arem-
arem.. this will be salah satu yang "uediaann maannn"

Lalu bedanya dengan lemper? Ya beda atuh.. lemper mah dari beras
ketan..

Lalu, apa bedanya arem-arem dengan bakcang? Bedanya lemper dengan
bakcang? Bedanya lemper dengan semar mendhem? Bedanya semar mendhem
dengan lontong? Bedanya lontong dengan buras? Bedanya buras
dengan... Hayyyaaahhhh!!!

All You Can Eat.. Really?

Apa sih arti sesungguhnya dari kata "all you can eat"? Mungkin
dulunya (duluuu banget) ada orang yang buka warung makan dengan
memajang tulisan "Have all (food) you can eat for $xx" makanya
terjemahan bebas dari konsep "all you can eat" menjadi "bayar satu
harga, makan sepuasnya".

Menurut saya banyak warung makan yang sesungguhnya menerapkan
konsep "all you can eat" (AYCE) tanpa mengumumkannya. Misalnya saja
warung padang di dekat sekolah saya dulu. Dengan hanya 8,000 perak
anda bisa "makan sepuasnya".. dengan syarat anda HARUS makan nasi
dan sayur. Walhasil anda paling hanya akan mampu menghabiskan
sepotong lauk (daging, ayam, telur atau ikan). Dua deh paling
mentok. Begitu menghabiskan segunung nasi dengan sayur gulai nangka
dan daun ubi, plus sepotong balado ayam, dijamin "you can eat no
more!"

Lho katanya AYCE, kok dibatasin harus makan nasi dan sayur? Ya nggak
apa-apa.. kan di restoran AYCE yang lain juga sering ada syarat-
sayarat. Misalnya di Hartz Chicken, ada syarat "all you can eat..
for 2 hours". Di tempat lain ada "all you can eat.. without drink",
ada juga yang "all you can eat.. but cook yourself!" Jadi, fair aja
dong kalo di warung padang itu bilang "all you can eat.. with
rice+veggie!"

Contoh lain adalah warung Ceu Emi di Cinere..
(disana berdua makan sampe puas abis 53,000 perak atau bisa dibilang
26,500/ orang). Kalau kita lihat maka dengan 26.5 K per orang,
warung Ceu Emi bisa menjadi warung AYCE. Tentu dengan syarat "kudu
pake nasi dan lalap!" Bisa rugi bandar kalo orang dateng dan cuma
makan ikan mas gorengnya doang tanpa nasi.. bisa lebih dari 7 biji
abisnya (mestinya juga ada tulisan "WARNING: Ikan mas goreng ukuran
30 cm BUKAN cemilan!")

Satu lagi.. Warung pecel di dekat rumah saya memasang tulisan AYCE
di dindingnya. Tapi menunya sangat variatif sehingga tak mungkinlah
kita mematok suatu harga untuk bisa makan sepuasnya. Ini berlaku
buat konsep AYCE sungguhan maupun karangan saya kayak di atas. Lalu,
kok keukeuh masang tulisan AYCE? Ternyata di bawah tulisan itu ada
lingkaran dengan tulisan HALAL.. Nah, jelaslah sudah konsep AYCE
yang satu ini.. "All you can eat" adalah: "Semuanya boleh anda
makan.. halal kok.."

Jadi pada dasarnya semua restoran bisa kita lihat sebagai AYCE..
Setuju? (pasti nggak deh!)

Kobenhavn.. Menengok Sang Putri

"Far out at sea the water´s as blue as the petals of the loveliest
cornflower, and as clear as the purest glass; but it´s very deep,
deeper than any anchor can reach. Many church steeples would have to
be piled up one above the other to reach from the bottom of the sea
to the surface. Right down there live the sea people.."


Kobenhavn (dengan huruf "o" coret) atau "Merchant Haven" atau
Copenhagen, ibukota Denmark adalah kota terbesar di Scandinavia.
Enam hari saya habiskan di kota ini dan pada hari kelima saya
bertemu dengan salah satu warga kota yang paling terkenal di dunia,
seorang gadis cantik bernama "Den Lille Havfrue".

Gadis muda berwajah sedih ini mungkin anda kenal lewat dongeng HC
Andersen, dan anda mengenalnya dengan nama "The Little Mermaid".
Dongeng yang bercerita tentang putri duyung kecil yang jatuh cinta
pada seorang pangeran. Sang putri kecil saat ini duduk di pelabuhan
Langelinie - Copenhagen, di atas sebuah batu yang sudah ditempatinya
sejak tahun 1913. Ia menatap sendu kearah daratan, mencari
pangerannya di antara ribuan orang yang mengunjunginya sepanjang
tahun.

Copenhagen adalah kota tua yang berhias banyak sekali patung.
Rasanya hampir di setiap sudut jalan, di depan bangunan, di taman-
taman selalu terdapat patung perunggu berbagai ukuran dan bentuk.
Mulai dari patung badan para tokoh penting Denmark (HC Anderson,
Soren Kirkegaard dll), patung para kesatria berkuda, dan patung dewa-
dewa. (Gefion, dewi Nordic yang merubah anak-anaknya menjadi
banteng, lalu menerbangkan sepotong tanah di Swedia yang lalu
berubah menjadi pulau Zaeland di Denmark)

Ketika menginjakkan kaki pertama kali di kota ini, hal "aneh" yang
langsung saya temui adalah lampu mobil. Ya, lampu mobil di Denmark
selalu menyala! Setiap saat, siang – malam, hujan – panas, winter –
summer.. pokoknya begitu mesin mobil hidup maka lampu juga langsung
menyala. Menurut supir taksi yang saya tumpangi, pemerintah membuat
peraturan seperti ini karena dulunya banyak warga yang kelupaan
menyalakan lampu ketika mengemudi. Karena cuaca Denmark
umumnya "kelabu" maka penting sekali menyalakan lampu khususnya di
saat menjelang winter. Nah, daripada kelupaan.. sekalian saja dibuat
peraturan, lampu harus nyala terus!!

Lampu yang menyala setiap saat juga membantu para pengendara sepeda
yang jumlahnya luar biasa banyak. Masih dari supir taksi tadi, saya
juga dapat cerita kalau para pengguna sepeda di Copenhagen itu gigih
luar biasa. Tak peduli hujan badai atau salju setinggi lutut, mereka
akan tetap bersepeda. Di depan stasiun utama dan di halaman stasiun
kereta Norreport, puluhan – bahkan mungkin ratusan – sepeda diparkir
setiap harinya. Bahkan kalau anda mau coba, cari saja persewaan
sepeda. Dengan 20 kroner, anda bisa membuka kuncinya dan memakai
sepeda itu seharian. Koin 20 kroner anda akan kembali ketika sepeda
anda kembalikan. Tapi di udara yang cukup dingin di akhir Oktober,
saya tidak punya niat sedikitpun untuk bersepeda keliling kota..
Anginnya kencang!

Bersama dengan Norwegia, ikan salmon adalah salah satu produk
andalan dari Denmark. Persaingan salmon ini berlangsung seru, bahkan
bisa sampai tingkat emosional. Seorang teman Norwegia yang makan
bersama saya (menunya ikan salmon mentah yang dicincang kasar lalu
dicampur dengan krim dan herbs) mengorek ikan salmonnya dengan gaya
curiga. Setelah suapan pertama, sambil mengangguk puas dia
berkata "Must be Danish salmon.. not as good as Norwegian!" Padahal
untuk lidah saya, daging ikan yang disajikan sudah begitu lezat lho.
Kenyal dan sangat gurih. Di supermarket saya perhatikan, daging ikan
salmon dari Norway memang berwarna lebih merah. Rasanya? Wah, sayang
nggak sempat nyoba tuh..

O,ya.. mungkin juga karena supply ikan salmon yang cukup banyak
inilah, saat ini banyak sekali sushi restaurant dan take out yang
dibuka dan populer di Copenhagen.

Steak masih merupakan menu makan malam andalan selain salmon.
Restoran Peder Oxe di Graabroedre torv 11, tidak jauh dari tempat
saya menginap, menyajikan steak yang luar biasa. Restoran ini
menempati sebuah bangunan tua (as any other building in Copenhagen!)
dan sangat ramai. Bentuknya menyerupai rumah dengan banyak ruangan.
Meja-meja disusun agak berdesakan sehingga kesan `hangat' dan akrab
bisa terbentuk.

Makan malam waktu itu dibuka dengan lobster soup yang berwarna
oranye cantik. Sup ini sangat gurih, creamy dan thick. Rasanya tidak
salah kalau ingin membersihkan sisa sup di mangkuk dengan roti!
Next, the steak itself. Daging setebal hampir 2 inch dipanggang
dengan doneness medium (permintaan saya), lalu diiris tipis
melintang sehingga gradasi tingkat kematangannya jelas terlihat.
Agak kering coklat di bagian luar, kelabu lalu pink di tengahnya.
Cantik sekali. Steak ini datang dengan sejumput besar salad (4 macam
lettuce) dan potato wedges yang gemuk. Untuk gravy/ sausnya,
diguyurkan krim putih dengan cincangan aneka rempah daun.

Hal unik yang saya temui di restoran ini adalah tersajinya beberapa
botol wine (red) di atas meja dalam keadaan botol terbuka (tanpa
tutup). Tampaknya ini wine bikinan sendiri karena botolnya tidak
berlabel tetapi menggunakan marking nama dan lambang restorannya. Di
atas meja juga tersedia botol-botol gelas bening (bentuknya seperti
botol wine) yang penuh berisi air dan sebatang daun mint di
dalamnya. Aroma mint yang terdifusi dalam air ini agak lemah, tapi
cukup terasa. Botol-botol air+mint ini juga tidak berlabel, hanya
marking lambang dan nama restorannya.

Wednesday, January 19, 2005

Mengapa Buntut Enak? Sebuah tinjauan anatomik

Mengapa sop buntut dan sop iga itu enak? Maksudnya.. kedua menu ini selalu spesial deh, dibandingkan sop daging biasa.

Berikut adalah beberapa dugaan (hayyaahh, sok serius mode: on!)

1. Daging pada bagian buntut dan iga jarang bergerak.

Buntut/ekor digunakan oleh sapi umumnya untuk mengusir lalat atau
serangga yang mengganggu. Pada hewan berkaki empat, sebenarnya
fungsi lain dari ekor adalah sebagai counter-balance (penyeimbang)
apabila hewan tersebut berlari. Pada makhluk berkaki dua, fungsi
counterbalance dilakukan oleh tangan (karena itu ketika berjalan,
kedua tangan kita bergerak berlawanan dengan gerakan kaki bukan?)
Seperti kita tahu, sapi saat ini sudah jarang berlari. Kecuali pada
saat diadu lari (karapan). Dengan demikian bagian ekornya juga tidak
lagi terlalu banyak bergerak.

Fungsi lain dari ekor pada sapi adalah untuk berhitung.. kan lebih
mudah menghitung sapi dengan ekornya.. satu ekor, dua ekor..
(hayyah.. another issue!:).

Karena ekor sapi ini tidak terlalu banyak bergerak, maka struktur
ototnya tidak "sekencang" bagian paha misalnya. Akibatnya daging
pada bagian ekor/buntut juga lebih empuk. Teori yang sama juga bisa
diterapkan pada bagian iga. Otot pada bagian ini hanya bergerak
ketika sapi bernafas. Sebuah gerakan yang ringan dan tanpa beban.

Bagian sapi yang juga relatif jarang bergerak adalah otot di bagian
tulang belakang, sebelum paha. Kalau pada manusia, ini adalah bagian
tubuh yang membuat Inul bisa melakukan gerakan "ngebor". Kira-kira
bagian pinggang. Pada sapi, bagian inilah yang menghasilkan sirloin
steak, salah satu potongan daging paling bagus.

2. Ekor dan iga "mengandung" tulang

Ada english saying yang mengatakan "meat closest to the bone is the
sweetest". Manis bukan dalam artian seperti rasa gula, tapi
yang "paling bercitarasa".

Ketika dipanaskan, mineral dalam tulang (juga sumsumnya) terdifusi
kepada dagingnya. Karena laju difusi berbading terbalik dengan
ketebalan, maka citarasa daging (otot) pada bagian yang paling dekat
dengan tulang menjadi lebih sedap. Ini adalah teori dari buku "What
Einstein Told His Cook" karya Robert L Wolke. Nah, iga dan buntut
biasanya memiliki lapisan daging yang tidak terlalu tebal, sehingga
difusinya lebih mudah. Maka by default daging pada bagian ini
juga "paling manis". Belum lagi ditambah dengan lapisan tipis lemak
pada permukaan daging yang juga memberi rasa ekstra, apalagi ketika
lapisan lemak ini dibakar. Dua difusi rasa dari arah yang berlawanan
ini semakin membuat daging di bagian ini paling cihuy.

Nah pelajaran anatomi sapi hari ini sampai di sini dulu... he..he..
Untuk membuktikan kedua dugaan di atas, segera kunjungi warung sop
buntut langganan anda..

Retro!! Es Krim Woody

Sepulang dari kondangan teman di Bogor (bosen
euy kondangan mulu, kapan ngundangnya ya? :), saya menyusuri Jalan
Raya Bogor yang dulu merupakan jalur perlintasan utama Jakarta-Bogor
sebelum ada Tol Jagorawi.

Begitu masuk ke kawasan Depok, pada kilometer 37 saya mampir
sebentar di pabrik es krim Woody. Es Krim Woody! Ingatan langsung
melayang pada tahun 80-an ketika es krim ini begitu jayanya sehingga
menjadi nama default es krim buat anak-anak kecil, termasuk saya.

Pabrik Es Krim Woody membuat taman bermain gratis di halamannya.
Taman bermain kecil yang begitu sederhana. Ada beberapa ayunan,
perosotan, panjat-panjatan dan alat-alat permainan seperti di taman
kanak-kanak pada umumnya. Di taman itu juga dibuka kafetaria Woody.

Kafetaria ini lebih mirip kios es krim sih.. Gambar Woody Woodpecker
(4 ekor!) terlukis di jendela. Papan iklan dan daftar menu yang agak
lusuh termakan waktu menunjukkan "Es Lemon Spesial", "Banana
Split", "Es Krim Soda" dll.. Sayang, tak ada satupun dari menu
tersebut yang dijual lagi saat ini. Yang dijual hanyalah es krim
horn (by scoop) dan es krim dalam kemasan.

Siang itu, es krim horn tersedia dalam 3 rasa yaitu durian (!),
coklat dan stroberi. Saya coba campuran durian-coklat dan coklat-
stroberi. Es krim ini haluus sekali dan manisnya nendang! Harga per
scoop 3 ribu perak. Selain es krim, Woody juga membuat es stik. Ini
adalah es (dari air) dengan berbagai rasa, dijual dengan harga
seribu perak saja. Saya coba beli es stik rasa stroberi yang, lagi-
lagi, manisnya nendang bangets!

Untuk di rumah, saya beli seliter es krim coklat (18 ribu perak). Si
Mbak penjaga yang ramah memberi tahu kalau mereka masih menjual es
krim Joy, yaitu es Woody dalam kemasan ember berisi 9 liter.
Harganya 80 ribu perak

Martabak

Kenapa malem minggu tukang martabak ramai?

Dugaan sementara ini terjadi karena pada umumnya para pemuda membawa
martabak sebagai oleh-oleh buat sogokan (martabak biasa), atau tanda
terimakasih karena mendapatkan ijin bertamu (martabak spesial),
apalagi jika sampai diijinkan membawa sang gadis berjalan-jalan
(martabak spesial, tambah keju, coklat dan susu kental manis cap
kembang). Martabak ini tentunya untuk calon mertua tercinta..

Untuk yang tidak membawa martabak, agar tidak dieliminasi, maka
biasanya sang pemuda harus bersiap menemani ayahanda sang gadis
bermain catur..

Ahhh.. it's a good life of the eighties...

Jus Cincau Fruiterie

Pada label tertulis "Jus Cincau Hitam Besar, Fruiterie". Dengan ED
yang hanya beberapa hari, maka jus ini dijamin kesegarannya.
Wujudnya adalah cairan berwarna hitam sekitar 600 ml, dengan
serpihan cincau halus berenang di dalamnya.

Aroma yang keluar ketika membuka botolnya adalah bau kayu yang
begitu segar. Malah sempat tertangkap kesan smokey yang cukup kuat.
Entah bagaimana, cincau hitam yang biasanya nir-aroma bisa menjadi
seperti ini. Di-aging dalam oak barrel kah? He..he..

Secara mengejutkan, body dari jus ini tidak setipis bayangan saya.
Karena cincau adalah gumpalan massa mengambang dalam air, maka
bodynya saya bayangkan akan seringan air. Apalagi klaim dari Cak
Uding bahwasannya penggunaan gula dalam semua jusnya tidaklah
agresif. Memang bodynya tidaklah sedahsyat Titi Kamal, tapi it's
there!

Kejutan berikutnya yang muncul adalah rasa jahe yang menyeruak
diantara manis dan smokey taste, diantara tekstur cincau yang smooth
tapi masih terasa di gigi. Al dente? You got it!

Karena penggunaan gula tidak agresif, maka finishnya juga clean
banget dan tidak lingering.

Semua direken pantes dengan banderol cuma 2,500 perak saja

Apakah Pecel Ayam Itu Ada?

Yap, pertanyaan saya adalah Apakah Pecel Ayam Itu Ada? (APA IA?)

Pecel, buat saya adalah makanan yang masuk pada "genre" yang sama
dengan gado-gado, ketoprak dan sayur-sayuran berbumbu kacang
lainnya. Pertama mendengar Pecel Lele.. yang kebayang adalah pecel
(madiun style) yang dimakan bersama lele goreng. Ternyata, salah!

Masalahnya, setahu saya hanya Pecel Lele saja makanan
bernama "pecel" tapi berada diluar 'genre pecel mainstream'. lain
dari itu, tidak ada.

Sesungguhnya, menurut hemat saya yang tidak terlalu hemat, Pecel
Lele lebih dekat ke masakan "cobek". Sambel diulek pada sebuah
cobek/cowet, lalu diatasnya ditumpangkan lauk yang ditekan sedikit
dengan ulekan agar terjadi blending. Lauknya bisa digoreng atau
dibakar. Dan kemudian kita mengenal "Cobek Gurame", atau "Cobek Ikan
Mas"

Maka kita kembali ke pertanyaan awal. Apakah pecel ayam itu ada?
Bukankah seharusnya ia lebih dikenal sebagai "cobek ayam"?

Di resto Payon ada sebuah menu berupa sambal yang diulek di sebuah
cobek, lalu diatasnya ditumpangkan nasi putih. Kemudian disandingkan
dengan ayam goreng atau empal. Menu ini namanya "Nasi Cobek",
bukan "Pecel Nasi".

Hmm.. jadi Apakah Pecel Ayam Itu Ada? Or is it truly a "Cobek Ayam"
in disguise? The truth.. is out there..

Senja di rumah Stroberi

Hari Minggu sore 31 Juli, menjelang jam 5, saya bersama Adi anak
STM (Si Tukang Masak) dan dua orang teman sampai di Rumah Stroberi,
kawasan Lembang Bandung. Disambut hangat oleh tante Widya, oom dan
dua putrinya (sebenernya yang disambut sih Adi.. kita mah cuma
kebagian 'hangat'nya aja :).

Yang terpikir pertama ketika tiba di tempat ini adalah.. "gua nggak
akan bilang-bilang sama siapa-siapa kalau tempat ini ada!!" Biar
tetap sepi dan nyaman :)

Tempatnya asik banget.. sebuah areal terbuka, tidak terlalu luas
dengan trap-trap tanah berumput hijau. Di dekat pelataran parkir,
digelar kebun stroberi.

Kami duduk-duduk di saung yang paling atas, bahkan lebih tinggi dari
rumah utama. Lumayan dingin sih, apalagi buat yang nggak biasa ngadem.

Salah satu signature dari Rumah Stroberi ini adalah jus stroberi. Ada
dua varian, dengan susu dan original. Jus original ini jujuuur
sekali.. Isinya adalah buah stroberi dan es, lalu diblender. Sudah,
itu saja. Walhasil, rasa asli stroberinya muncul dengan sangat
berhasil tanpa tertutup oleh rasa apapun.

Sambil menikmati minuman yang segar ini, saya membayangkan kembali ke
tempat ini untuk sekedar ngobrol berlama-lama atau membaca buku.
Mungkin tak hanya ditemani jus, tapi juga secangkir teh atau kopi
yang hangat.

Menjelang malam, lampu minyak dan obor dilapangan mulai dinyalakan.
Begitu pula lampu di dalam "rumah kaca" kebun stroberi..

Di langit, bulan purnama bersinar terang sekali.. Ahhh...