Tuesday, September 23, 2008

Culinary Crime

Awalnya adalah kasus "Makanan Sampah", sebuah stasiun TV (*duh kok mendadak lupa namanya*) menyebut istilah "Kejahatan Kuliner".

Istilah ini kemudian dipakai juga untuk merujuk pada bentuk penipuan populer di jagad kuliner Indonesia. Misalnya saja kasus ayam dan ikan berformalin, kasus jualan makanan kemasan kadaluarsa, kasus ayam DeSY (Dead Since Yesterday, a.k.a Tiren) dan daging sapi gelonggongan.

Kasus-kasus ini selalu naik popularitasnya di bulan Ramadhan. Selain karena biasanya masyarakat jadi lebih concern dengan belanjaan makanan di bulan ini, gosip artis juga biasanya rada sepi (puasa puasa kok ngegosip..). Apakah kasus kejahatan kuliner nggak terjadi di luar bulan Ramadhan? well, just because it's not on TV.. bukan berarti bukan?

Kejahatan kuliner, umumnya memang berbentuk penipuan dan kebohongan terhadap publik (bukan "kebohongan publik" ya, yang itu artinya "publik rame-rame berbohong"). Dan sialnya, ini terjadi setiap hari tanpa bisa dicegah. Mulai dari bikin antrian di depan kios biar kesannya rame, sampai pura-pura nge-review di milis biar restorannya laku.

Salah satu bentuk kejahatan kriminal paling tua adalah "Getok Pricing". Dari dulu, kita sudah sering dengar bahwa ada beberapa tempat di tanah air (biasanya di Jawa Tengah dan sekitarnya) yang pedagang makanannya selalu memasang tarif ganda untuk "lokal" dan "turis" meskipun yang disebut "turis" ternyata adalah saudaranya sebangsa dan setanah air. Di jalur-jalur mudik, dimana transaksi kuliner biasanya terjadi secara besar-besaran, modus ini perlu diwaspadai secara saksama.

Ada juga bentuk kejahatan kuliner dengan modus "black campaign". Biasanya sih ini terjadi karena persaingan usaha. Menghembuskan isu bahwa bakso anu pakai daging tikus adalah modus yang populer di tahun 80-an. Issue halal sampai sekarang masih sering dipakai juga. Dengan semakin mudahnya akses internet, blogging dan milis, black campaign juga jadi lebih mudah tersebar. Kalau anda dosen/ peneliti di bidang komunikasi, mungkin bisa dibuat penelitian seberapa cepat sebuah berita negatif tersebar di tanah air. Saya pernah mencoba sebuah penelitian kecil beberapa tahun lalu dengan mengirim berita baik (nggak bohong) ke teman-teman, ternyata hanya dalam waktu 3 x 24 jam
berita tersebut sudah kembali ke mailbox saya, dikirimkan sebagai forward-an dari teman yang sudah bertahun-tahun gak ketemu. Kalau good news aja cuma perlu 3 hari, apalagi bad news. Berita buruk biasanya berhembus lebih cepat bukan?

Nah, terus sebagai tukang makan, pencinta "honest food", penjaga pusaka kuliner negeri (hiyaaaa... berat ya? :), apa yang bisa kita lakukan?

Sayangnya, sampai sekarang kejahatan kuliner belum dianggap sebagai kejahatan besar. Di kepolisian juga (sependek pengetahuan saya) belum ada Unit Khusus Kejahatan Kuliner. Jadi, tampaknya kita sebagai warga masyarakat harus bergerak dengan cara kita sendiri.

Sebagai konsumen, cuma satu caranya.. belajar terus biar pinter. Anda nggak akan tau bedanya ayam DeSY dengan ayam normal kalau nggak belajar, bukan? Kita ga akan ngeh kalau terlibat dalam black campaign, kalau kita nggak punya cukup ilmu buat mengenali email forward-an bohong, bukan? Jadi intinya mah, tambahin ilmu kulinernya terus.. Bukan cuma tentang "makan apa dimana", tapi juga "apa dan bagaimana makanan". Kalau perlu, setiap makanan yang disajikan diperlakukan secara 3D: Dilihat, Diraba, Diterawang..

Untuk anda yang terlibat di bisnis kuliner.. bulan Ramadhan selalu penuh dengan pengingat untuk jujur. Bisnis dengan cara yang baik akan berujung dengan kebaikan.

Jagalah hati..

No comments: